Mohon tunggu...
Damar Keina Lebaying
Damar Keina Lebaying Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Antropologi Sosial Universitas Diponegoro

Memiliki minat di bidang sosial dan budaya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kearifan Lokal, Kunci Adaptasi Petani Sapen di Era Perubahan Iklim

31 Juli 2024   19:33 Diperbarui: 31 Juli 2024   19:46 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petani sedang membajak sawah di Desa Sapen/dok. Pribadi

Di tengah gempuran perubahan iklim yang mengancam sektor pertanian, sekelompok petani di Desa Sapen, Kec. Mojolaban, Kab. Sukoharjo, Jawa Tengah memiliki 'senjata rahasia' untuk bertahan: kearifan lokal. Gotong royong dan penanggalan Jawa menjadi kunci keberhasilan mereka menghadapi tantangan alam yang semakin tak terduga.

Pagi itu, embun masih membasahi pucuk-pucuk padi di hamparan sawah Desa Sapen. Sarono, seorang bayan di Dusun Celungan, berdiri tegak memandangi hasil kerja keras warga desanya. "Dulu, kami bisa menebak kapan musim hujan atau kemarau datang. Sekarang? Cuaca benar-benar sulit diprediksi," ujarnya sambil menggelengkan kepala.

Perubahan iklim bukan lagi ancaman di masa depan, tapi realita yang harus dihadapi para petani saat ini. Namun, Desa Sapen memiliki cara unik untuk beradaptasi. Bukannya menyerah pada ketidakpastian, mereka justru menggali kearifan lokal yang telah diwariskan turun-temurun.

"Gotong royong adalah kunci," jelas Sarono dengan mata berbinar. "Kami menanam padi secara serentak dan saling membantu dalam perawatannya. Dengan begitu, hama yang semakin beragam akibat perubahan iklim lebih mudah dikendalikan."

Strategi ini terbukti efektif. Ketika satu petani menemukan tanda-tanda serangan hama, informasi segera menyebar ke seluruh desa. Dalam hitungan jam, seluruh petani sudah siap siaga dengan tindakan pencegahan. "Ini bukan hanya soal bertani, tapi juga menjaga kebersamaan," tambah Sarono.

Namun, gotong royong bukanlah satu-satunya 'senjata' yang dimiliki petani Sapen. Mereka juga masih setia menggunakan penanggalan Jawa untuk menentukan waktu tanam yang tepat. "Nenek moyang kami sudah menggunakan metode ini selama berabad-abad. Ternyata, di tengah kebingungan akibat perubahan iklim, penanggalan Jawa masih relevan," ungkap Sarono.

Meski cuaca semakin sulit diprediksi, petani Sapen tidak khawatir soal pengairan. Mereka telah mengantisipasi dengan penggunaan sumur dalam, sehingga pasokan air tetap terjamin meski tidak mengandalkan irigasi.

Kesuksesan petani Sapen membuktikan bahwa kearifan lokal bukan sekadar tradisi kuno yang usang. Di tangan mereka, warisan leluhur bertransformasi menjadi solusi inovatif menghadapi tantangan global. Sementara dunia sibuk mencari teknologi canggih untuk mengatasi dampak perubahan iklim, jawabannya mungkin justru ada di halaman belakang kita: dalam bentuk gotong royong dan kearifan lokal yang telah teruji zaman.

Saat senja mulai turun di Desa Sapen, Sarono memandang ke arah cakrawala dengan senyum puas. "Kami mungkin tidak bisa menghentikan perubahan iklim, tapi dengan kearifan lokal, kami siap menghadapinya bersama-sama," pungkasnya.

Kisah petani Sapen menjadi bukti nyata bahwa dalam menghadapi tantangan global, solusi lokal seringkali menjadi yang paling efektif. Mungkin sudah saatnya kita berhenti memandang jauh ke depan, dan mulai menengok kembali ke belakang, ke akar budaya kita sendiri. [Paksi]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun