Mohon tunggu...
Damar Pamungkas
Damar Pamungkas Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Yogyakarta

Hanya seoarang mahasiswa biasa yang mencoba menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pembangunan Masjid Gedhe Kauman: Antara Islam dan Keraton

20 Mei 2024   14:10 Diperbarui: 20 Mei 2024   14:36 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kita mungkin tidak asing lagi dengan nama Masjid Gedhe Kauma. Masjid yang terletak di Jalan Kauman, Ngupasan, Kota Yogyakarta atau terletak di samping Alun-Alun Lor Keraton Jogja ini sangat ikonik. Masjid ini memiliki banyak kisah didalamnya, yang cukup familiar adalah perbaikan arah kiblat yang diprakarsai oleh pediri Muhammadiyah, K.H Ahmad Dahlan. Tapi, untuk saat ini kita tidak akan membahas hal tersebut. Kita akan membahas sejarah dari Masjid Gedhe Kauman ini.

Masjid Gedhe Kauman didirikan pada tanggal 29 Mei 1773, oleh Sultan Hamengku Buwana I. Masjid ini dibangun setelah Sri Sultan berhasil membangun keraton baru sebagai pusat pemerintahan setelah teriptanya perjanjian giyanti yang memecah mataram menjadi 2. Sri Sultan yang dikenal sebagai seorang muslim yang taat menganggap bahwasanya pembangunan masjid ini tidak dapat dipisahkan dari keraton. Masjid ini dibangun dengan arsitektur khas jawa dengan atap berlapis tiga. 

Kemudian pada tahun 1775 dibangunlah serambi masjid untuk menampung jamaah yang semakin banyak. Selain sebagai tempat ibadah sholat, serambi ini juga digunakan sebagai petemuan para ulama, pengajian, pengadilan untuk masalah keagamaan dan kegiatan yang berhubungan dengan islam lainnya. Pada tahun yang sama dibangun juga 'pagongan' atau tempat gong yang berfungsi sebagai tempat menyimpan gamelan yang saat itu digunakan sebagai alat dakwah kepada masyarakat.

Pada tahun 1840 dibangun 'gapuro' atau gerbang masuk menuju masjid. Asal kata 'gapuro' ini sendiri menurut website resmi Masjid Gedhe Kauman berasal dari kata 'ghofuro' (arab: ) yang berarti ampunan. Penamaan ini dimaksudkan agar orang yang memasuki masjid mendapatkan ampunan atas segala dosa dosanya. Namun, pada tahun 1867 terjadi gempa bumi yang cukup dahsyat melanda yogyakarta.  Gempa ini menebabkan runtuhnya serambi Serambi Masjid Gedhe. Kemudian Sri Sultan Hamengku Buwana VI memberikan kagungan dalem Surambi Munara Agung sebagai sesambi baru bagi Masjid Gedhe Kauman. Serambi ini luasnya 2 kali lipat dari serambi yang telah runtuh.

Kemudian pada tahun 1933, atas usulan Sri Sultan Hamengkubuwana VIII, lantai serambi masjid yang awalnya batu kali diubah menjadi tegel atau keramik kembang yang sampai saat in masih terawat di serambi masjid. Selain itu pula diadakan penggantuian atap masjid, dari sirap diganti dengan seng wiron yang tebal dan lebih kuat. Lantai masjid juga diganti menjadi marmer pada tahun 1936.

dokpri
dokpri

Masjid Gedhe Kauman sendiri memiliki arsitektur jawa yang sangat khas dan penuh filosofi disetiap sisinya. Mulai dari atap bertingkat 3, yang menggambarkan hakekat, syariat, dan ma'rifat. Baik interior dalam masjid dan serambi bergaya jawa kuno yang penuh dengan ukira ukiran.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun