Makanya, setiap konten dan tulisan Pak Tjipta selalu mengandung hikmah dan motivasi. Tulisannya tak berat untuk dibaca dan dipelajari, karena ditulis dengan landasan usaha, doa dan syukur.
Tiga hal itu mampu menghilangkan rasa sakit hati dan dendam pada orang lain. Selalu berpandangan positif, tak mudah untuk menyalahkan seseorang.
Dan dari tiga hal itu pula lahir semangat berbagi. Sering memberi, dan tak pernah berharap balasan dari pemberian itu.
Tinggi semangat silaturahmi. Silaturahmi tak memandang iman dan keyakinan. Semangat kemanusiaan jadi faktor utama dalam membangun hubungan baik antar sesama.
Lalu, setelah tiga buku itu saya tamatkan, pikiran saya pun menerawang. Saya pun teringat seorang KH Abdurrahman Wahid. Tokoh yang akrab dengan nama Gus Dur ini terkenal humanis.
Gus Dur, tokoh bangsa yang pernah jadi Presiden ini yang tahu adalah tokoh yang bisa memadukan menulis dengan membaca. Sama dengan Tjiptadinata Effendi. Semakin banyak mereka membaca, maka semakin banyak pula tulisannya keluar.
Kedua tokoh ini mampu membaca yang tersurat dan yang tersirat. Orang Minang bilang, "tahu dibayang kato sampai".
Begitu juga seorang Jakob Oetama. Pribadi yang sering menulis dan gemar membaca itu tak banyak dipunyai republik ini.
Dari kerendahan hati, senang berbagi itulah membuat Pak Tjipta laksana sebuah buku tak pernah selesai dibaca dan ditulis.
Bukunya best seller. Asyik dan kita dibawa larut dalam kajian itu. Itulah Tjiptadinata Effendi yang saya amati dari bukunya. Buku karyanya sendiri.
Semakin sering dan banyak menulis, pun bapak tiga orang putra dan putri ini semakin senang dan sejuk untuk ditulis.