Dan juga hidangan berupa jamba yang diangkut ke surau oleh kaum bundo kanduang tak kalah banyaknya. Mungkin sama banyak dengan tamu undangan yang hadir dalam acara itu.
"Lapek barajuik" sebagai makanan khas Kampung Aro, mewarnai sepanjang hidangan dalam perundingan sebelum makan.
Datuak Sinaro pun menekankan soal kelanjutan prosesi Bandaharo ini. Apakah sampai di sini saja, atau ada kelanjutannya.
Oleh kaum Jambak laki-laki dan perempuan semuanya menjawab, ibarat membuat rumah harus sampai anjungan. Artinya, Desember nanti ada jamuan dan acara "baralek gadang" untuk peresmian Bandaharo ini.
Panjang lebar Datuak Sinaro berunding, mengetengahkan seluk beluk Bandaharo sejak awal, sampai "terapung tak hanyut" selama 56 tahun, dan kini Bandaharo itu dibuktikan, bahwa adat dan pusako itu memang tak boleh lapuk kena hujan, dan tidak pula boleh lekang kena panas.
Yufni Faisol berdiri, Rangkayo Rajo Tianso, Datuak Sinaro bersama sejumlah pangulu lainnya memasangkan membuka dan memasangkan peci Yufni Faisol dari peci nasional biasa ke peci nasional yang berlilit layaknya seorang pangulu.
Kain sarung pun dibalutkan di lehernya. Dan Yufni Faisol satu persatu menyalami para niniak mamak dan pangulu serta tamu undangan yang hadir dalam surau.
Setelah itu, oleh kapalo mudo gadang, Yufni Faisol dibimbing menuju tempat kedudukan yang baru, yakni di tempat barisan depan bersebelahan dengan Rangkayo Rajo Tianso dan pangulu enam suku Koto Marapak Koto Tinggi.
Usai acara, Rangkayo Rajo Tianso memuji kegigihan panitia yang diketuai Hendrizal Palo. "Hampir tiap hari Palo ini datang ke rumah, menanyakan segala sesuatu yang berhubungan dengan kesuksesan acara ini," kata dia.
Alhamdulillah, kata Hendrizal Palo, kini kedudukan Bandaharo yang di depan itu telah kembali, setelah sekian panjang tersimpannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H