Berawal dari suka dan senang melihat orang pakai buku agenda, saya pun terbiasa menulis catatan harian di agenda sewaktu mondok dulu.
Terasa enak dan senang sekolah berasrama di pesantren itu, sehabis belajar selalu timbul ide-ide yang harus ditulis di buku.
Apalagi ketika kajian tentang fiqh yang banyak membahas pendapat ulama, saya sering mencatat itu dulunya. Sayangnya, catatan saya dulu itu tak seberapa yang utuh sampai sekarang.
Banyak pembahasan yang terasa menggelitik, saya langsung catat di buku. Dan kebiasaan menulis itu pula, barangkali saya terjun ke dua jurnalistik sehabis mondok.
Saya sudah berpikir, bahwa kitab dan buku yang dipelajari di pesantren, besar kemungkinannya dari hasil karya tulis santri zaman dulu dasarnya.
Tahun 1990 an itu, sarana komunikasi telpon belum banyak. Bahkan, karena tak boleh acap pulang kampung oleh orangtua, saya juga berkirim surat ke ke kampung.
Termasuk ke saudara yang ada di rantau, juga sering saya bertulis surat. Ya, sekedar berinformasi soal kondisi masing-masing, dan tentunya juga sekalian minta bantuan bekal untuk belajar.
Dan budaya membaca dan menulis itu awalnya tumbuh di kalangan orang pesantren. Orang yang sekolah berasrama, banyak punya ide dan gagasan untuk dikembangkan menjadi sebuah kajian dan karya tulis yang mantap.
Ayat pertama turun, adalah anjuran untuk banyak membaca dan menulis. Membaca dan menulis akan membuat santri itu berkembang dengan cepat.
Dulu itu paling lincah saya menulis dengan tulisan Arab. Sayang, karena tak begitu terlibat dalam proses belajar dan mengajar di pesantren setelah bekerja, lupa akan menulis dengan tulisan Arab tersebut.