Terbiasa disiplin, hidup sederhana, tak mempengaruhi kekuasaan yang dia jabat di Muhammadiyah, untuk mendapatkan fasilitas wah, dan bertindak semaunya.
Itulah Buya Ahmad Syafii Maarif dalam kesehariannya. Dia rela dan menikmati antri berlama-lama ketika berobat di rumah sakit milik organisasi yang ikut dibesarkannya.
Dia senang naik sepeda ketika mengurus persoalan umat yang sedang bertikai soal agama dan keyakinan. Mau naik kereta api yang sama dengan masyarakat menengah kebawah, untuk bepergian jarak jauh.
Tak heran, hidup-hidupilah Muhammadiyah, dan jangan hidup di Muhammadiyah, ajaran KH Ahmad Dahlan, terpatri betul dalam jiwa Buya yang pernah jadi pucuk pimpinan organisasi itu.
Rumah yang dibelinya secara angsuran di Yogyakarta pun, lunas beberapa tahun lalu, sebelum dia pergi selamanya.
Masya Allah. Teladan yang amat luar biasa yang kita dapatkan dari Buya kelahiran 31 Mei 1935 tersebut.
Dan memang, dalam buku Memoar Seorang Anak Kampung, karya Buya sendiri dia ceritakan pengalaman pahit dan manisnya kehidupan yang dilaluinya.
Tentunya, sikap demikian membuat Buya selamanya netral, dan tak pernah terpengaruh oleh kekuatan negara.
Baginya, nilai-nilai pluralisme dan nasionalisme, adalah bagian yang sangat penting dalam membangun peradaban Islam dan bangsa ini.
Sebenarnya dia bisa saja minta pihak rumah sakit Muhammadiyah itu melayani dia lebih dahulu dari pasien yang duluan antrinya dari dia.