Sejak lebaran Idul Fitri, saya banyak membaca buku "Memoar Seorang Anak Kampung", karya Buya Ahmad Syafii Maarif. Buku itu telah lama adanya di pustaka saya, dan tentu konteksnya saat ini untuk membaca ulang.
Saya ingin menulis resensinya. Buku itu bagus, menceritakan perjalanan panjang Buya sejak dari kampungnya, di Sumpur Kudus, Sumatera Barat hingga kiprahnya saat ini.
Jumat, 27 Mei 2022, sekira tiga jam menjelang Shalat Jumat, masuk berita duka, tentang kepergian Buya. Berselang beberapa saat, muncul berita serupa dari yang lain, dan seterusnya, menjadi berita viral.
Innalillahi wa innailaihi rajiun. Saya tulis pula status, karena sudah banyak beredar, sebelumnya saya cek di twitter Haidar Nasier, Ketua Umum PP Muhammadiyah, yang terlebih dulu mengabarkan kabar duka tersebut.
Saya tidak dikenal oleh Buya kelahiran 31 Mei 1935 itu. Namun, saya sudah lama mengenal Buya. Saya banyak membeli dan membaca hasil karya tulisnya, dan buku yang ditulis orang tentang dia.
Tulisan Buya sendiri jadi sumber inspirasi saya. Bahasanya ringan, mudah dicerna dan enak untuk dibaca. Dengan ini, setiap ada buku tentang dia, atau dia sendiri yang menulis, tanpa ragu saya langsung saja membelinya.
Hanya beberapa kali berinteraksi langsung dengan Buya dalam kegiatan nasional yang saya ikuti. Saya yakin, Buya tidak kenal dan mengenal saya.
Buya adalah tokoh yang sempurna kemuhammadiyahannya. Seorang bapak bangsa, yang selalu menyemai benih perdamaian.
Mengajarkan Islam santun dan rahmah. Dari Ranah Minang, Buya telah menularkan nilai-nilai kemanusiaan yang dibungkus dengan ajaran Islam rahmatan lilalamin.
Anak panah Muhammadiyah ini, berhasil memperkuat khas ulama Minangkabau di jagat dunia. Dia selamanya dipanggil Buya, oleh siapapun dan tentunya seluruh masyarakat.