Hitungan detik setelah masuk, berita tadi sudah bisa dishare di banyak jejaring media sosial.
Gampang sekali, kan? Lalu kualitas isi. Lihat saja, dan bandingkan dengan media ternama yang menerapkan pola berjenjang naik bertangga turun.
Seperti koran dulu, dari wartawan lapangan di sambut redaktur halaman, lalu disetujui redaktur pelaksana, dan masuk halaman, naik cetak, paginya berita kemarin muncul.
Dengan banyak saringan, kualitas isi terjamin dan mampu mewujudkan visi dan tujuan media itu, mencerdaskan kehidupan bangsa.
Media online sekarang, karena pemilik tunggal, tak jarang kualitas isinya membingungkan banyak orang. Tata bahasa yang susah untuk dimergi, belum lagi soal ujaran kebencian.
Makanya, semakin meningkat tajam sarana informasi ini, sebaran berita hoax dan ujaran kebencian, dan berita provokatif lainnya memenuhi jagat media hari ini.
Hikmahnya, masyarakat dituntut kian cerdas. Masyarakat pembaca diuntungkan untuk terus belajar, dan mencari informasi yang benar.
Tak heran, wartawan dalam bekerja harus lebih cerdas lagi. Banyak membaca, tidak boleh sekedar anjuran tanpa wartawan itu sendiri yang menekuninya.
Semakin banyak menulis, wartawan sejati dan profesional itu semakin bertambah pula bahan bacaannya.
Tak cukup hanya banyak membaca tulisan kita sendiri. Harus lebih banyak membaca tulisan wartawan hebat, yang tiap sebentar melahirkan karya tulis buku, misalnya.
Apalagi tulisan orang hebat yang tidak wartawan, biasanya seorang wartawan akan tertantang untuk membacanya.