Kontrol sosial yang tinggi, selalu menjaga netralitas dan integritas jurnalis, dan berpihak pada kebenaran, wartawan itu juga disebut sebagai wakil rakyat tanpa dewan.
Disebut demikian, kata Fakhrul Rasyid, wartawan senior di Sumatera Barat, karena wartawan bekerja dan melakukan pekerjaan yang sama dengan politisi yang sedang duduk di dewan.
Bedanya, anggota dewan bekerja digaji oleh negara. Sedang wartawan bekerja menyuarakan kepentingan masyarakat, hanya Tuhan yang tahu soal gaji atau upah yang diterimanya.
Soal kerja demikian, persentasenya jauh lebih banyak wartawan ketimbang seorang anggota dewan.
Wartawan nyaris 24 jam, tak mengenal ruang dan waktu. Ketika sedang asyik bekerja, kadang tak kenal makan dan lupa segalanya.
Yang ada hanya tugas mencari, mengolah, mengedit naskah berita ini, bagaima bisa cepat sampai di meja redaksi, untuk diterbitkan.
Tapi itu dulu. Dulu sekali, ketika digitalisasi belum merambah kehidupan. Koran dan surat kabar masih pada posisi atas dalam kebutuhan membaca masyarakat.
Secara cepat dan merambah semu lini kehidupan, koran sudah terbatas edarannya di tengah masyarakat. Untuk berita dan informasi, orang sudah menggunakan tekhnologi digital.
Malah, sebagian besar koran memilih alih produksi dari cetak ke online, kalau tak ingin namanya hilang di telan kecanggihan zaman.
Dengan ini, wartawan sudah berprofesi ganda. Ya, dia yang mencari berita, langsung mengolah, mengedit, dan langsung memasukkan ke halaman portalnya.