Alek baik dan buruk yang terjadi di kampung itu, tak luput dari ikut serta Yuldiana sebagai warga masyarakat.
Dari dulu dikabarkan, kalau warga tak mampu datang ke tempat prakteknya, Yuldiana langsung ke rumah pasien.
"Baa mak, apa yang terasa sakit," begitu sapa dia ketika pasien datang ke tempatnya.
Tentu sapa demikian terasa lebih dari sebuah obat yang akan diberikan kepada yang sakit setelah di cek kesehatannya.
Sapa yang diiringi dengan senyuman, mengajarkan pada pasien untuk selalu optimis. Sakit adalah bagian dari dinamika hidup yang mesti dihadapi.
Dengan demikian, tak ada warga setempat yang tidak kenal dengan dia. Begitu sebaliknya, semua warga di situ diketahui namanya oleh Yuldiana.
Termasuk orang semenda dalam kampung itu sekali pun, juga ikut berbaur dan berinteraksi dengan dia.
Berdinas di Puskesmas Sintuak, tentu membuat dia merasa leluasa pulang dan pergi kerja pada saat jamnya.
Jarak tempuhnya tak begitu jauh. Yuldiana pandai membawakan irama gendang, sehingga ikut dalam gelombang sosial kemasyarakatan tempat dia tinggal.
Baginya, nadi kehidupan warga kampung sudah dalam kepalanya. Mana warga tak mampu dan mana pula yang kurang mampu.
Uang untuk berobat Rp35 ribu bukan ukuran. Yang penting, masyarakat yang sakit harus berobat.