Satu abad NU: kemandirian dalam berkhidmat untuk peradaban dunia. Ini tema besar Muktamar NU ke-34 di Lampung Sai Bumi Ruwa Jurai.
Sebuah tema tentunya, yang ditetapkan berdasarkan kajian dan diskusi panjang, melihat dari berbagai sisi arah perjuangan yang sudah dan akan dilakukan organisasi kaum pesantren ini.
Muktamar yang baru saja dibuka secara resmi oleh Presiden Jokowi ini, menjadi titik nadir dan akan melahirkan perjuangan besar setelah helat lima tahun sekali itu selesai dilakukan.
Berlangsung dari 22-23 Desember ini, tentunya sebuah helat besar yang penuh dengan tanda tanya. Sementara, tema yang diangkat cukup besar dan butuh energi yang maksimal untuk mewujudkannya.
Barangkali tak cukup hanya sekedar label sebagai salah seorang muslim yang paling berpengaruh di dunia, yang pernah disematkan kepada KH Said Aqil Siradj, dan tak pula gampang hanya dengan menguasai sejumlah bahasa dunia yang melekat pada KH Yahya Cholil Staquf.
Kedua tokoh, yang sampai usai pembukaan muktamar masih diperbincangkan oleh para muktamirin yang ikut secara langsung, maupun yang ikut secara daring, dan mengamati dunia media sosial, untuk jadi calon Ketua Umum PBNU lima tahun mendatang.
Para tokoh penting dalam organisasi ini nyaris memberika komentar netral terhadap kedua tokoh tersebut. Tak ada kampanye hitam, saling jegal.
Terasa sekali nuansa muktamar kali ini adalah ajang silaturahmi para ulama, kader ulama dan santri tentunya di Lampung.
Sepertinya, tidak ada pemilihan secara langsung calon Ketua Umum PBNU pada muktamar kali ini. Masing-masing pemilik suara yang terdiri dari PW, PC, dan PCI NU saat registrasi, langsung memasukan ke kotak suara, nama yang diusulkan untuk Ahwa, atau perwakilan yang akan menetapkan Ketua Umum PBNU lewat musyawarah mufakat.
Artinya, kondisi demikian dilakukan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dalam helat di masa pandemi ini.