Mengajak anak muda bertani, apalagi yang telah populer sebagai anak milenial, tidak mudah. Tetapi tidak pula sulit. Tergantung orangtua dan lingkungannya.
Kalau dia mau, bagus. Jadilah mereka milenial bertani. Pengalaman Kelompok Tani (Keltan) Wartawan dan Warga Bertani (Wartani) di Kabupaten Padang Pariaman menyebutkan, paling susah anak muda diajak bertani.
Cerita awal menarik. Para wartawan muda ini paling getol ingin dibuatkan kelompok tani. Tapi setelah kelompok jadi, dan kegiatan mingguan di ladang telah dimulai, satu persatu anak milenial ini hilang dan menghilangkan diri.
Ada yang minta mundur dari kelompok dengan cara teratur, pamit di WAG milik bersama, dengan berbagai alasan, dan tentu ada yang hilang tanpa permisi.
Tinggal lagi kami yang menanggung ini. Di sebut menanggung, tua belum muda terlampau. Kami yakin tak lagi masuk kelompok milenial, meskipun ingin sebenarnya masuk komunitas itu.
Kejadian itu tentu dimaklumi saja. Wartani berladang jauh di bagian utara Padang Pariaman, itu di Koto Padang, kampung tersuruk nan jauh dari keramaian.
Tingginya pendakian, dalam dan terjalnya turunan yang ditempuh ke Nagari Sikucur Barat itu, membuat wartawan milenial ini tak mau lagi ikut berladang.
Paling tidak, dalam situasi normal dari Lubuk Alung ke Koto Padang menghabiskan satu setengah jam perjalanan dengan motor. Herannya, kenapa kawan yang Milenial dulu yang memilih mundur dan tidak lagi bergabung.
Yang namanya kelompok tani, berlandaskan sosial kemasyarakatan, tentu hal itu tak pula jadi kajian diskusi menarik oleh kawan wartawan yang terbilang senior ini.
Kita pulangkan saja kepada nasibbdan takdir yang membuat hal itu terjadi. Kini, berjalan hampir dua tahun kelompok ini, kolaborasi wartawan dan masyarakat ini tetap harmonis dan menggairahkan.
Dan bahkan Keltan Wartani ini jadi pilot projects untuk nagari lain. Ada peluang untuk mengembangkan kelompok ini ke nagari lain. Tinggal melangsungkan, sudah ada yang mau dan berminat, di dukung ada pula lahan yang tidak bersewa di nagarinya.
Hadirnya kelompok yang tengah mengembangkan tanaman jeruk nipis dan lemon ini, adalah menjawab kondisi pandemi covid yang berkepanjangan.
Covid menghambat laju ekonomi, apalagi ekonomi wartawan yang sangat bergantung pada hubungan baik dengan relasinya. Covid, membuat hubungan tatap muka berubah jadi pertemuan daring, yang dengan sendirinya lebih banyak pengeluaran ketimbang pemasukan sumber kehidupan.
Setidaknya, kehadiran Keltan Wartani ini menbuhkan semangat bertani di kalangan wartawan muda dan masyarakat, sambil sekalian belajar dari masyarakat yang lebih dulu mahir dan lihai berladang.
Sebenarnya, milenial bertani di tengah hantaman covid, adalah solusi alternatif terbaik untuk menumbuhkan semangat juang, memberdayakan lahan terlantar, yang tidak produktif jadi lahan subur dan menghasilkan.
Namun, oleh wartawan milenial Piaman itu belum disambut baik. Mungkin faktor jauh jarak. Nanti kita coba membuka lahan yang dekat dari pemukiman kita masing-masing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H