KH. Abdurrahman Wahid, akrap dengan sapaan Gus Dur, adalah tokoh bangsa yang pantas diidolakan banyak orang. Tak terkecuali saya, yang mengenal cucu pendiri NU KH. Hasyim Asy'ari ini sejak awal reformasi.
Sejak tahu dengan Gus Dur, saya banyak membaca Presiden ke-4 RI ini lewat bacaan yang lumayan banyak. Gus Dur yang saya kenal, adalah orang yang berani tidak populer.
Banyak kebijakannya yang kontro versial yang saya suka. Satu hal yang membuat kagum kepada putra sulung KH. Wahid Hasyim ini, adalah dia satu-satunya tokoh yang lihai menulis, dan suka membaca.
Jauh sebelum momen tertinggi dalam pengambilan keputusan tertinggi di organisasi Nahdlatul Ulama (NU), yakni Muktamar ke-31 di Solo, Jawa Tengah tahun 2004 silam, saya sudah menyimak dan membaca Gus Dur lewat bahan bacaan.
Muktamar yang memilih kembali KH. Hasyim Muzadi itu saya ikut sebagai peserta peninjau dari Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Padang Pariaman. Banyak bahan bacaan dari arena helat lima tahun sekali dalam organisasi terbesar itu yang saya angkut pulang, dan sampai kini masih tersimpan rapi.
Mulai dari buku, koran, majalah, dan bahan bacaan lainnya. Ada yang jatah yang ditemukan dalam tas peserta muktamar, dan banyak pula yang saya beli di Asrama Haji Donohudan selama mengikuti muktamar tersebut.
Hampir seluruh media diwarnai dengan komentar tokoh ini, dan itu saya cernama betul, bagaimana mantan Ketum PBNU tiga periode ini melakukan kaderisasi kepada kadernya sendiri. Ada semacam terpaan yang dilakukannya, untuk memperkuat posisi nilai tawar pimpinan organisasi yang lahir tahun 1926 itu.
Kontro versial yang dilontarkannya, tak lain untuk memperkuat organisasi yang dibangunnya. "Gitu aja kok repot," ujarnya dalam menjawab berbagai persoalan yang dianggap orang lain penting dan besar. Itu yang saya pahami dari seorang tokoh politik Gus Dur.
Menyimak dari sekian banyak cerita dan interpretasi tentang Gus Dur, saya menilai tokoh yang pertama kali mempopulerkan pesantren ke dunia luar ini, jauh lebih besar ketokohannya ketimbang organisasi dan negara yang dia pimpin. Bayangkan, dalam sejarah NU, setelah KH. Idham Khalid hanya Gus Dur yang mencapai tiga periode jadi Ketum PBNU.
Itu pun penuh dengan kontroversi pada saat muktamar yang memutuskan dia kembali jadi Ketum PBNU untuk ketiga kalinya itu. Terkenal sebagai helat paling heboh dan mengguncang republik ini. Sampai-sampai lahir "NU tandingan", dengan nama KPPNU, lewat intervensi pihak ketika tentunya yang tak ingin Gus Dur memimpin organisasi itu, dengan menonjolkan ketokohan seorang Abu Hasan.
Baginya, agama dan bangsa nomor satu. Di atas segalanya. Perjuangannya untuk kaum minoritas dan tertindas juga bagian utama yang dia perjuangkan.