Pagi Jumat (14/5/2021) ibu-ibu itu menjinjing rantang ke surau. Mereka pagi tadi Shalat Idul Fitri di surau kaumnya masing-masing. Setiap usai Shalat Id diadakan kegiatan mendoa dan jamuan makan bersama.
Medoa sehabis sembahyang raya ini sudah menjadi tradisi dan kelaziman bagi masyarakat Sijangek, Nagari Sungai Durian, Kecamatan Patamuan, Padang Pariaman, Sumatera Barat. Makanya, kaum perempuan menjinjing rantang dan jamba ke surau.
"Yang membaca doanya orang Siak yang menempati surau itu. Kalau tak ada tuanku, ya labai surau itu," cerita Bustanul Arifin Khatib Bandaro, tokoh masyarakat Sijangek.
Di kampung ini, katanya, ada empat surau milik kaum Suku Jambak, yakni Surau Jambak Kalawi, Sijangek, Lubuak Duku, dan Surau Jambak Kampuang Tangah.
Masing-masing surau punya seorang labai, sebagai tempat tumpuan persoalan syarak di tengah kaum terkait.
Keempatnya dan surau lainnya yang ada di Sungai Durian selalu mengadakan doa selamat sehabis puasa yang disertai jamuan makan bersama seluruh jemaah yang hadir Shalat Id.
Baik Idul Fitri maupun Idul Adha, terasa asing kalau tak mendoa dan jamuan makan bersama setelah lebaran itu.
"Kita lebaran Jumat, karena puasa mulainya Kamis. Tahun ini puasa 29 hari," kata Bustanul Arifin.
Mendoa dan jamuan itu merupakan bagian dari kesempurnaan ibadah puasa. Artinya, kalau yang kurang-kurang ibadah Ramadan, dengan mendoa ini disempurnakan, termasuk mendoakan para leluhur yang telah mendahului, agar diberikan tempat yang layak di sisi Tuhan.
Doa untuk kebaikan kaum khususnya dan nagari pada umumnya, tak terlepas dari perkabaran salah seorang tokoh masyarakat kepada orang Siak yang akan membacakan doa.
Jadi, mendoa dan jamuan makan bersama boleh disebut sebagai lebaran perdana bagi masyarakat Sijangek dan Sungai Durian. Sedangkan lebaran kedua, besoknya, Sabtu itu juga mendoa dan mengaji sekalian jamuan makan di padam pekuburan kaum masing-masing.
Sebagai orang Siak di tengah masyarakatnya, Bustanul Arifin selalu akrap dan tahu persis dengan tradisi yang merupakan warih bajawek, pusako batarimo dari yang tua-tua dulunya, dan berlaku hingga saat ini.
Kemudian, kegiatan ini juga bagian terpenting dalam membangun budaya silaturahmi di antara sanak kemenakan, ipar besan, andan pasumandan.
"Meskipun warga kampung ini telah lebaran Kamis di kampung istrinya, misalnya, yang lebaran di kampungnya tetap pula dilakukannya, untuk kebersamaan dengan dunsanak," sebut dia.
Biasanya, kata Bustanul, setiap surau kaum itu ramai jemaah Shalat Id, karena perantau banyak dan umumnya berlebaran di kampung. Tapi kali ini, perantau minim, bahkan tak ada yang pulang kampung lantaran pandemi covid.
Namun demikian, ujar dia, nama perantau ada juga yang tersebut dalam mencari uang infak saat Shalat Id.
"Berdoncek dengan sato sekaki dalam pastabiqul khairat, ada sejumlah perantau tak pulang, tapi dia berkirim uang saja untuk kelanjutan pembangunan surau," ujarnya.