Hal yang paling melekat saat saat menyebut Semen Padang, bisa dipastikan tak lepas dari dua kata: Sang Pionir. Bukan hanya karena Semen Padang merupakan perusahaan semen pertama di Indonesia. Tapi juga motto yang menegaskan bahwa perusahaan ini tak pernah berhenti berinovasi dan memprakarsai. Yakni "Kami telah berbuat sebelum yang lain memikirkannya".
Bahkan pabrik Indarung 1 yang kini mencapai 106 tahun, masih beroperasi meski mesin dan suku cadang asli sudah tidak diproduksi oleh negara pembuatnya. Ini bukti kemampuan enginering Semen Padang dalam memodifikasi mesin sedemikian rupa agar tetap berfungsi dengan baik. Keberadaan beberapa heritage di Padang dan sekitarnya juga memperkuat saksi perjalanan produksi Semen, seperti Museum Bank Indonesia dan PLTA Rasak Bungo.
Pelabelan "Sejak 1910" dalam logo Semen Padang pun kian meyakinkan kalau pemilik usia tertua dalam industri persemenan itu patut dibanggakan. Dalam kurun 2014 saja, perusahaan yang juga bagian dari Semen Indonesia Group ini menorehkan total 24 penghargaan. Diantaranya meraih 5-Star Quality Product kategori semen pada ajang Global Customer Satisfaction Standard (GCSS) World Class Quality Achievement. Serta 6 Platinum, 4 Gold, dan 1 Grand Gold (untuk semua kategori: HAM, Pengembangan Masyarakat, Lingkungan, dan Konsumen) dalam Indonesian CSR Award 2014. ---
Pionir Mencetak Pionir
Dalam merealisasikan meaning perusahaan "Giving the Best to Build a Better Life", Semen Padang menempuh berbagai upaya. Salah satunya melalui program CSR yang telah menyabet beragam Award.
Secara umum kegiatan CSR Semen Padang berlandaskan Triple Bottom Line -selaras dengan core subject ISO 26000 SR. Adalah Profit (suara konsumen, praktik operasional yang berkeadilan), People (pelibatan dan pemberdayaan masyarakat, HAM, tata praktik ketenagakerjaan), dan Planet (lingkungan hidup).
Lebih dari 800an miliar per tahun dikucurkan untuk ketiga program CSR tersebut. Jika perusahaan lain masih banyak menggunakan dana CSR untuk charity atau kegiatan yang "sekali tuntas", Semen Padang sebaliknya. Sejalan dengan konsep "People", CSR Semen Padang digunakan untuk pengembangan ketrampilan masyarakat di sekitar lingkungannya.
Selain mengurangi pengangguran, cara ini juga ampuh untuk meningkatkan kemandirian warga dan menciptakan lapangan kerja dari waktu ke waktu. Pemberdayaan SD Bustanul Ulum (tempat berdirinya PLTA) dan pemberian beasiswa pada pelajar berprestasi dan kurang mampu, juga bagian dari upaya SP untuk menumbuhkan SDM unggulan.
Program berkelanjutan tersebut tentu saja membuat Semen Padang layak mendapat Proper Emas, sebagaimana amanat UU No. 32/2009. Lantaran secara konsisten telah menunjukkan keunggulan lingkungan dalam proses produksi, melaksanakan bisnis yang beretika, dan bertanggung jawab terhadap masyarakat. Lebih dalamnya, Semen Padang sebagai pionir telah menumbukan pionir-pionir baru yang tak lain ialah masyarakat sekitar kawasan perusahaan. --
Ujung Tombak Ketahanan Ekonomi Indonesia Bagian Barat
Pengembangan Semen Padang kini ditengarai dengan pendirian pabrik Indarung VI yang digadang-gadang akan kelar pada November 2016 mendatang. Dilansir Bisnis.com (http://industri.bisnis.com/read/20150428/257/427715/pabrik-semen-indarung-vi-ditarget-beroperasi-november-2016), pabrik ini ditargetkan akan meningkatkan kapasitas produksi 3 juta ton dan mengejar penguasaan pasar hingga mencapai 55% di wilayah Sumatera. Ini juga upaya Semen Padang dalam menghadapi penetrasi industri-industri semen Asing, khususnya di Indonesia bagian Barat. Semen Asing? Yes.
Selama 2015, ini data merk semen yang beredar di Indonesia: Semen Indonesia (Semen Gresik, Semen Tonasa, Semen Padang). Ada juga grup Indocement dengan merk Semen Tiga Roda, Holcim, Semen Baturaja. Lafarge dengan Semen Andalas, Semen Bosowa, Semen Kupang, Semen Juishin dengan merk Semen Garuda. Semen Puger, Wilmar dengan Semen Merah Putih, Siam Cement dengan merk Semen Gajah, Semen Bima, Semen Conch di Kalsel.
Bahkan, konon, di Banten ada grinding plant semen yang bisa dipakai siapa saja dengan semen impor kemudian diberikan merk. Wuaw! Bagaimana dengan standar SNI dan quality controlnya? Jika benar adanya dan dibiarkan, bukankah konsumen yang paling dirugikan? Terlebih jika sudah berjualan tapi sama sekali tidak memiliki pabrik di Indonesia, diakui atau tidak itu sama saja dengan "impor".