Mohon tunggu...
Damae Wardani
Damae Wardani Mohon Tunggu... broadcaster, MC -

"Write to look for the meaning of life." Tinggal di http://jalandamai.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Polemik Rembang: Pergulatan Tingkat Dewa

15 April 2015   16:53 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:04 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aishh!! Semakin menarik saja. Polemik Rembang mencuat setelah sekelompok warga melakukan aksi blokade pembangunan, kemudian diikuti oleh aksi ibu-ibu yang rela bertahan di tenda sebagai bentuk perlawanan (hingga hari ini kalau dihitung kurang lebih 300 hari. wuihh). Namanya kaum perempuan, tentu mengundang perhatian banyak kalangan.

Beberapa bulan kemudian, kalau tidak salah November, sekelompok orang bersama WALHI mendaftarkan gugatannya, menolak pabrik Semen di Rembang. Dipikir-pikir, kalau orang percaya dengan hukum seharusnya gugatan yang masuk ke pengadilan sudah bikin reda suasana. Biar proses hukum bicara.

Tapi kenyataan justru demo-demo masih bermunculan dan semakin menjadi. Usaha mempengaruhi massa dengan cara seminar, sarasehan, dialog terus berlangsung. Itu yang kadang saya merasa heran dengan negeri ini. Apa guna pengadilan, atau memang sudah hilang kepercayaan terhadap proses hukum. Kalau sudah hilang ngapain ngajuin gugatan. Kalau percaya ngapain masih bikin aksi. Mbulet!

Sebulan ini, mendekati putusan pengadilan, bertebaran silang pendapat seputar kasus Rembang diikuti meme-meme yang kadang bikin geli. Dari situ saya berdecak kagum. Sebuah pergulatan tingkat dewa. Berbagai disiplin ilmu saling beradu mempertahankan teori dan pendapatnya. Tentu ini sangat positif.

Itulah kenapa saya sebut DEWA. Bukankah, selain ketakwaan, bagi muslim, derajat manusia diukur dengan tingkat keilmuannya? Semakin tinggi ilmunya semakin dijunjung dan mendapat ruang di tatanan sosial. Sumber-sumber literasi Islam pun beberapa kali menyebut keutamaan orang berilmu dan mengistimewakannya.

Menariknya polemik Rembang disini, sama-sama beradu argumen berdasar ilmu yang melatarbelakangi keahliannya. Sangat berbeda dengan huru-hara pilpres. #upz

Untuk masuk dalam diskusi Rembang, seseorang tak bisa hanya mengandalkan persepsi dan emosi. Harus punya argumen dan didukung data yang jelas. Latar belakang jelas berpengaruh terhadap posisi seseorang, pro atau kontra.

IPB, misal. Yang backboundnya kampus pertanian, sudah pasti KONTRA. Bahasa mudahnya, buat apa kuliah diadakan kalau lahan pertanian semakin terhimpit. Umumnya, praktisi-praktisi dari IPB mempropagandakan agar pembangunan pabrik Semen itu diluar Jawa. Bagi praktisi ekonomi dan bisnis tentu sangat bertentangan dengan prinsip Ekonomi, karena cost pembangunan pabrik di luar jawa jelas: sangat besar. Berderet pegunungan kapur di sepanjang pantai selatan saja tak menarik minat pabrik semen kok malah disuruh bangun di luar. Belum lagi ini soal persaingan industri, sangat menentukan perekonomian negeri. Begitu kira-kira yang disampaikan pakar.

ITB, jelas banyak yang PRO. Bahkan satu dosennya memberi warning: kalau sampai Pabrik Rembang tak diijinkan berdiri maka akan saya hapus jurusan-jurusan pertambangan di Indonesia. Logika yang diambil ternyata sama paradigmanya dengan IPB: buat apa kuliah diadakan kalau tak diijinkan menambang di negara sendiri.
*Makannya agak aneh soal isu demo di ITB beberapa hari lalu. Banyak yang bilang: pendemo itu bukan orang ITB, numpang aksi di depan kampus saja. #Entahlah

Demikian juga kampus-kampus lain. Kondisi ini hanya berlaku untuk senior-senior di level Dosen dan Peneliti kampus. Bukan mahasiswanya. Mahasiswa jelas 'banyak' yang kontra. Bukan karena idealisme. Tapi sifat mahasiswa (terkait fase usia) yang cenderung anti kemapanan, tampak gagah kalau sudah melawan kekuasaan, terlihat kritis kalau sudah mendebat (meski asal cuap), dlsb. Mahasiswa sendiri juga cenderung ikutan-ikutan (latah) akan trend yang ada disekitar. Salah satu contohnya terbaca dari penyajian (maaf) ngawur yang meminta diberlakukan moratorium bahkan penutupan permanen IUP di seluruh Indonesia. Speechless.. 'Nggak tahu pesanan dari mana..'.

Kondisinya juga tak berlaku jika Anda menempatkan persepsi dan emosi diatas metode-metode ilmiah. Ini juga sering menjangkit mahasiswa yang seharusnya punya ruang dan waktu buat melakukan kajian. Mungkin saking semangatnya, dihadapkan dengan realitas foto ibu-ibu tenda langsung kepalkan tangan siap melawan korporasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun