Menyadari betapa strategisnya peran blogger dalam berbagai bidang --salah satunya mengoyak “citra” perusahaan, kian menjadi point bargaining blogger untuk menentukan “level”.
Terawangan kacamata blogger kelas teri macam saya ini, tentu saja bisa tak akurat dan kurang kredibel. Karenanya, pernyataan itu lahir bukan berdasar opini pribadi, melainkan kesimpulan dari pengalaman berkecimpung di berbagai event perusahaan satu tahun terakhir. Jika ada yang kurang berkenan, sejak awal saya mohon dimaafkan.
Level blogger, entah dari mana kata itu bermula, saya pelajari dari berbagai istilah yang rawa riwi nangkring di timeline. Blogger Reporter, Blogger Review, Blogger Event, Fashion Blogger, Food Blogger, Beauty Blogger, Blogger Rumahan, Blogger Gudibeg.. sampai Blogger Bukber.
Mungkin masih banyak istilah yang belum tercatat. Tapi saya yakin pembaca bisa mengira ada level-level apa lagi berikutnya. Pun makna sederhana dari penamaan itu, tak butuh berpikir keras untuk memahami. Ketika ditelaah lebih, tampaknya ada beberapa istilah yang saling berkaitan.
Misal, Blogger Reporter - Event - Gudibeg. Ketika seorang blogger dikenal sering membuat reportase di blognya, otomatis ia akan diundang banyak event, dan setiap event cenderung menyediakan gudibeg untuk audience. Namun saat istilah itu berdiri sendiri, ketiganya bisa dipersepsikan berbeda oleh siapa pun.
Laiknya sebutan untuk Blogger Riview. Esensi terpenting dari aktivitasnya hanya satu: mengulas sesuatu (produk/jasa/dll). Karenanya, ketika Blogger menulis ulasan tentang produk gadget, makanan, kecantikan, fashion, sampai penyedia berbagai layanan jasa, wajar kiranya jika masuk kategori Review kan? Meski nyatanya beda spesialisasi bisa memunculkan istilah baru.
Tak ada patokan baku, memang. Saya hanya menganalisa. Anda juga berhak memiliki pemahaman berbeda.
Blogger Bukber, Level Spesial Bulan Suci?
Begitu pula ketika saya menyebut Blogger Bukber. Spontanitas yang terinspirasi begitu saja dari linimasa. Muncul saat para blogger berseliweran memamerkan hasil jepretan terbaik: menu buka puasa ala-ala highclass, lengkap dengan lokasi --hotel bintang sekian sekian, resto paling mahal, cafe executive muda bergengsi. Saban sore, selalu beda tempat, dan semua agenda diakhiri bukber.
Mainpoint dari istilah yang terakhir ini bisa jadi juga sama dengan semua istilah/level perbloggeran: menunjukkan eksistensi. Menurut versi polos saya, nama lainnya adalah “menyetrika sosmed” karena hampir tiap saat bolak balik posting. Hanya saja, blogger level ini momentnya di bulan Ramadhan. So pasti undangan bukber untuk blogger-blogger ini antri tiap hari.
Saking antrinya, ini yang membuat saya merenung kemudian, seringkali blogger memilih dan memilah. Mana yang bisa dipenuhi, mana yang dinanti, mana yang diusahakan sepenuh jiwa, bahkan mana yang dia mengajukan diri untuk ikut, dan mana yang ditolak. Masing-masing blogger punya pertimbangan yang dilatarbelakangi berbagai “kepentingan”.
Tak salah. Itu hak. Yang menggelitik adalah, ketika blogger-blogger terhormat itu -disadari atau tidak- hanya mau memenuhi undangan untuk “bukber bergengsi”. Level atas. Gemasnya, sengaja atau tidak, mereka acuh dengan event-event dari golongan ikan teri.