"Wuaah.. Gila, brad! Ibu-ibu Kendeng sampai kirim surat ke Artjog dan Mojok.co!" Kabar dari salah satu kawan itu sontak membuat saya melongo. "Serius, loe?", tanya sanya meyakinkan diri, sambil scroll kalimat yang mendayu-dayu di dalam surat itu.Â
Langsung saya buka sederet berita terbaru terkait kasus ini. Kasus lama yang bersemi kembali --atau lebih tepatnya: kisah kasus yang belum usai?. Maklum, beberapa kesibukan sempat melenakan saya dari pemberitaan ini. Tentu dipicu rasa lega yang membuncah ketika perang opini sempat mereda beberapa saat lalu.Â
Namun ternyata perjuangan Semen Rembang belum tuntas. Bagi Anda yang pro Ibu-Ibu Tenda, sah-sah saja jika Anda ingin membaca kalimat itu menjadi: perjuangan Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) belum berakhir.
Huhft.. Tarik napas. Sempat tersengal.
Saya amati, perkara yang digugat masih sama. Alasan yang diutarakan JMPPK masih sama. Hal-hal yang diberitakan media pun seakan hanya mengulang pemberitaan beberapa waktu lalu. Intinya: mereka keukeuh menolak pendirian pabrik semen.
Awal Agustus, Presiden Jokowi meminta PT Semen Indonesia mengentikan pembangunan pabrik Semen Rembang agar bisa dikaji ulang. Â Dilansir Koran Tempo, durasi pengkajian ulang ini memakan kurang lebih satu tahun. Keputusan ini tak lepas dari usulan Gubernur Jateng, Â Ganjar Pranowo, sekaligus menanggapi hasil pertemuan warga lereng pegunungan Kendeng dengan Presiden di Jakarta, (2/8).
Seminggu kemudian, (8/8), Ketua LSM Semut Abang Rembang, Suparno, mengatakan, pihaknya serta masyarakat Rembang menolak moratorium pabrik Semen tersebut. Diberitakan Suara Pembaruan, menurut pria yang lebih akrab disapa Gus No itu, "Kalau kemudian harus dihentikan, dasarnya apa? Harus jelas, jangan Cuma karena ada yang menolak, lantas dimoratorium, itu sangat tidak fair."
Sehari sebelum itu, telah digelar diskusi publik bertema "Dibalik Polemik Pembangunan Pabrik Semen" di kawasan Kuningan, Jakarta, (7/8). Laporan Wartawan Tribunnews.com menyebutkan, Sekretaris Perusahaan Semen Indonesia, Agung Wiharto, turut hadir sebagai narasumber. Agung mengingatkan, sektor bisnis semen di Indonesia saat ini 65% masih dikuasai asing. "Semen Indonesia hanya memiliki sekitar 30-35% saja."
Anehnya, aset negara yang baru satu pertiga kekuatannya dibanding negara asing, padahal di bumi pertiwi milik sendiri, juga terbukti sudah manaati semua aturan dan perijinan; masih saja digugat. Masih saja dipertanyakan. Masih saja diragukan. Terus menerus dikecam. Dan, terus menerus ditolak.
Jelas-jelas diputuskan Majelis Hakim PTUN Semarang menolak gugatan warga yang menolak pembangunan pabrik semen itu. Juga dipaparkan fakta bahwa wilayah pabrik tidak tumpang tindih dengan wilayah CAT Watuputih yang ditetapkan Keppres No. 26/2011. Bahkan dikuatkan kesaksian pakar geologi UGM, Eko Haryono, yang menegaskan, kawasan karst di Rembang tidak termasuk dalam bentangan alam karst yang dilindungi.
Lalu apa sebenarnya yang membuat suara-suara penolakan itu terus kencang hingga sekarang? Benarkah masyarakat Rembang benar-benar menolak pembangunan Semen Rembang?