Disclaimer: Saya tidak memihak pihak kiri maupun kanan, saya tetap berdiri di tengah. Tulisan ini saya buat ketika saya sedang gelisah dengan situasi semester 4 yang baru awal namun sudah membuat resah. Maka, disela-sela waktu nugas saya persembahkan sebuah tulisan yang semoga saja tidak membuat tersinggung pembaca dan penikmatnya.
Pemilihan Raya---atau disingkat Pemira---merupakan perhelatan akbar yang ditunggu-ditunggu bagi sebagian besar mahasiswa di kampus saya. Dalam perhelatan ini, seringkali menimbulkan kekacauan dan ketidaknyamanan bagi mahasiwa-mahasiswa lain. Pemira di kampus saya diadakan setiap setahun sekali dan diadakan untuk memilih DEMA-U, SEMA-U, DEMA-F, SEMA-F, dan HMPS.Â
Pemira menjadi event yang ditunggu-tunggu bagi sebagian besar mahasiswa karena di dalamnya masing-masing dari kelompok menunjukkan bahkan mengirimkan calon-calonnya untuk bertarung memperebutkan kursi-kursi kekuasaan. Kursi-kursiÂ
kekuasaan ini sangat diperebutkan oleh masing-masing dari kelompok karena menurut mereka jika sudah memegang kekuasaan pasti bisa membuat sistem-sistem baru dan terus memenangkan event-event lainnya.
Pemira bagi saya sendiri merupakan event biasa saja yang tidak memiliki pengaruh bagi kehidupan perkuliahan saya---ya paling resah sama propaganda-progandanya ajasi. Pemira di kampus saya ini banyak sekali dramanya, entah drama yang sengaja dibuat-buat untuk mencari eksistensi ataukah memang benar-benar ada sesuatu yang disembunyikan dibalik ini semua.Â
Dalam hal ini, saya hanya ingin mengeluarkan keluh kesah saya dengan adanya penyelenggaraan event ini tanpa ingin menyinggung pihak manapun. Karena Indonesia katanya negara demokrasi jadi menurut saya sah-sah saja jika ingin mengeluarkan pendapat.
Pemira menurut saya idealnya merupakan ajang yang seharusnya diisi oleh saling lempar-melempar visi misi dan kompetensi bukannya malah saling lempar-melempar kursi. Pemira menjadi ajang yang 'seksi' hingga mereka berani untuk saling merendahkan harga diri. Pemira bagi saya merupakan ajang untuk kontemplasi bukan hanya ajang untuk sekadar mencari eksistensi.Â
Bagi saya, seharusnya pemira diisi benar-benar oleh manusia yang paham apa arti konstitusi, jangan hanya sekadar titipan organisasi. Mungkin setelah tulisan ini terbit, banyak pembaca yang merasa tidak setuju dengan pendapat saya. Namun, bagi saya disini saya hanya ingin mengeluarkan keluh kesah yang sudah lama terpendam mengenai keberlangsungan event ini.
Mengutip kalimat yang pernah diungkapkan oleh Syahrir "Hidup Yang Tidak Dipertaruhkan Tidak Akan Dimenangkan". Saya setuju dengan pendapat beliau bahwa jika hidup tidak dipertaruhkan, tidak akan pernah dimenangkan. Namun, jika bertaruh hanya untuk sekadar memperebutkan kursi-kursi kekuasaan apa bedanya dengan wakil-wakil rakyat yang sering didemo oleh mahasiswa-mahasiswa di Senayan sana. Setelah mendapat kursi kekuasaan, terus janji-janji yang sudah ada dihilangkan begitu saja.
Terakhir, saya menitipkan pesan untuk teman-teman saya yang sedang berjuang untuk memenangkan masing-masing calon yang kalian usung tetaplah berjuang dengan idealisme-idealisme yang kalian junjung. Mengutip kutipan dari Tan Malaka, beliau berpendapat bahwa "Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda." Teruslah berjuang dengan kejujuran dan berpihak di jalur kebenaran. Bagi saya, apa untungnya mendapat kekuasaan jika digapai dengan kebohongan-kebohongan.
Wassalamualaikum, Warahmatullahi Wabarakatuh.Â