Demo yang direncanakan 2 Desember nanti diduga kuat sebagai gerakan antidemokrasi karena bertujuan memaksakan kehendak atas nama kasus dugaan penistaan agama, untuk tujuan politik menggoyang pemerintahan Jokowi. Karena itu, seharusnya pemerintah tidak perlu ragu untuk melarang demo itu. Kegamangan bertindak justru akan membuat demo semacam itu terus berulang.
Tujuan politik menggoyang pemerintahan Jokowi itu sudah tak bisa ditutupi lagi dengan menggeser isu bahwa presiden telah menghina ulama. Tuduhan yang jelas bersifat menghasut itu secara nyata telah merendahkan martabat kepala negara dan segala upaya yang telah dibangun dengan bersilaturahmi dengan para ulama, ormas, dan parpol Islam.
Jika tujuannya adalah membela Islam, agama Islam model apa yang mereka bela. MUI sendiri telah meminta tak ada demo lagi, NU, Muhammadyah juga bersikap sama, KH Arifin Ilham pun telah menegaskan tak ada demo lagi. Jadi, jika kini ada rencana demo 212 yang diberi titel Demo Bela Islam III, demo itu untuk siapa.
FPI dan GNPF MUI yang mengerakkan aksi demo itu jelas tidak bisa mengklaim sebagai wakil Islam. Banyak orang Islam di republik ini yang sudah lama memendam amarah dan ingin FPI dibubarkan. Kalau mereka menyebut wakil Islam radilkal semacam ISIS, Wahabi, yang menginginkan kekhilafahan Islam di Indonesia, atau DI/TII gaya baru, silakan saja.
Tetapi Islam model itu terlarang hidup di Indonesia karena mereka jelas ingin makar dan merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Tak usah dipungkiri, mereka ingin mengimpor konflik ala Timur Tengah ke Indonesia, untuk berkuasa. Agama dan masjid adalah tempat mereka untuk menanamkan ideologi dan menghasut massa agar tidak lagi menerima pola hidup berbangsa dan bernegara yang berdasarkan Pancasila, UUD '45, dan Bhineka Tunggal Ika.Â
Ini sudah berlangsung lama. Karena itulah tak heran jika banyak suara masyarakat yang mengeluhkan isi khotbah di masjid yang tidak nenimbulkan kesejukan, tetapi justru mengumbar amarah dan kebencian atas nama ras, golongan, dan lainnya, atas dasar kepentingan politik.Â
Masjid telah diubah jadi tempat kampanye. Tak usah dibantah. Persoalan ini sudah lama jadi keluhan warga yang memandang agama adalah oase rohani yang menawarkan kesejukan rohani untuk menggapai nilai keillahian dalam sujud kepada Allah.
Munculnya ulama yang suka mengumpat, merendahkan golongan lain, suka mengancam bunuh, dan ucapan keras lain, itu adalah wujud dari hal itu. Pancasila yang jadi dasar negara ini dilecehkan sedemikian rendahnya, proklamator kita dihinakan seperti itu. Kepercayaan dan kearifan lokal suatu daerah dan golongan, mereka kutuk dan kafirkan, mereka hinakan.Â
Islam seperti dijadikan milik mereka sendiri. Mereka lupa Islam telah menyentuh seluruh sendi kehidupan sebagian besar bangsa Indonesia ini sejak lama, jauh sebelum mereka. Itulah Islam yang Rahmatal lil Alamin yang dibawa para aulia, par wali Allah, para alim dan bijak jauh sebelum mereka lahir. Islam hendak mereka ubah jadi Islam yang pemarah, penghujat, tidak toleran, dan mau menang sendiri.
Peringatan dari PBNU yang merasa resah atas penyusupan gerakan Wahabi dalam pendanaan dan penguasaan takmir masjid dan para khatib "bon-bonan", sudah lama disuarakan. Desakan dan tutuntan agar FPI dan HTI dibubarkn juga sudah lama disuarakan sejak zaman SBY berkuasa. Tetapi, terbukti dua ormas yang nyat-nyata nenafikkan dan melecehkan Pancasila masih bebas melenggang dan terus nemprovokasi massa dengan berbagai aktivitasnya yang meresahkan masyarakat.
Adalah menarik dicermati ketika mereka berhasil menarik simpati kelompok lain, saat menggoreng isu kasus dugaan penistaan agama oleh Ahok. Perlawanan mereka terhadap Ahok sudah dilakukan jauh sebelum adanya kasus itu, tidak bisa diabaikan. Di sinilah terjadi simbiosa kepentingan antara mereka dengan kelompok politik yang sama-sama ingin Ahok dijatuhkan.