Siapa tak bangga putra Indonesia ternyata bisa bersaing di ajang olahraga kasta ningrat dunia, balap mobil Formula 1. Pesertanya hanya 22 lho, naik mobil super yang mahal, kencang berlari seperti jet darat. Putra Indonesia itu bernama Rio Haryanto. Namun untuk itu, harus ada dana 15 juta euro atau sekitar Rp 225 miliar yang harus dibayar agar dia bisa menjadi anggota tim.
“Jer Basuki Mawa Beya” kata orang Jawa Timur, “tak ada keberhasilan tanpa mengeluarkan biaya”. Mahal memang. Lha wong harga mobilnya saja konon 6 juta poundsterling atau sekitar Rp 125 miliar. Ingin tahu rinciannya? Ini kata www.bola.com: sayap depan Rp 3,1 miliar undertray Rp 1,2 miliar, satu set ban Rp 27 juta, gearbox atau persneling Rp 15 miliar, perangkat telemetri Rp 1,55 miliar, alat kemudi Rp 1 miliar, monocoque Rp 20,9 miliar, perangkat mesin Rp 73,3 miliar, rem Rp Rp 3,1 miliar, sayap belakang Rp 1,9 miliar, dan knalpot Rp 3,6 miliar.
Mobil yang luar biasa. Knalpotnya saja , harganya setara hampir 10 lapangan sepak bola di desa. Alat kemudinya, bisa untuk membeli seribu sepeda untuk anak-anak kita. Harga mesinnya, jangan dikata, bisa untuk beli 730 ribu bola sepak atau 46 ribu raket bulu tangkis untuk mengolahragakan rakyat Indonesia.
Nah, kalau dibandingkan lagi, biaya Rp 225 miliar yang dibutuhkan Rio untuk satu musim putaran Formula 1, bisa dipakai untuk membangun sedikitnya 125 gedung SD, atau bisa memberi beasiswa sedikitnya kepada 200 ribu siswa. Dana itu juga menghasilkan setidaknya 200 doktor lulusan luar negeri. Atau kalau untuk mengembangkan mobil listrik sekelas Elvina milik Dasep Ahmadi, sudah bisa ekspor kita.
Hebat sekali mobil yang dikendarai Rio itu. Hi Tech pokoknya. MRT05 menggunakan mesin Mercedes Benz PU106C Hybrid Turbo 1.6 L V6. Ini mesin canggih hybrid, kombinasi antara mesin listrik dan mekanik. Pokoknya hebat dah.
Ah, andai saja Danet Suryatama yang merancang Tucuxi berkolaborasi dengan Ricky Elson, Dasep Ahmadi, Agus Purwadi yang kini jadi ketua tim mobil listrik nasional itu, berhasil menciptakan mobil balap listrik Hi Tech. Lantas Rio Haryanto menyopirinya dalam ajang Formula 1, tambah mongkok hati saya. Betapa membanggakannya.
Jangan salah sangka. Saya tak mempermasalah keikutsertaan Rio Haryanto dalam Formula 1. Sama sekali tidak. Kita memerlukan figur semacam dia untuk menunjukkan keberadaan Indonesia di mata dunia. Rakyat Indonesia pasti juga ikut bangga. Dan pada akhirnya, akan membangkitkan rasa nasionalisme di dada. Hebat. Nasionalisme kadang memang harus mahal biayanya.
Itu para pakar marketing sering mengatakan, Rio bisa menjual nama Indonesia di kalangan atas penggemar olahraga mahal ini. Ujung-ujungnya, dengan brand Indonesia yang kuat, produk Indonesia bisa makin disuka. Tak terkecuali, sektor pariwisata kita yang kini akan menjadi andalan penerimaan devisa negara. Meski mahal, sah saja negara ikut membiayainya.
Belum lagi kebanggaannya itu lho. Menjadi satu di antara 22 orang di dunia yang bisa ikut balapan itu. Wapres Jusuf Kalla malah sempat menyebut untuk menjadi pembalap Formula 1 itu peluangnya lebih sulit dibanding jadi wapres atau presiden. Kalau Formula 1 hanya menyediakan 22 kursi, wapres dan presiden kursinya jauh lebih banyak setara negara negara di dunia. Mudah-mudahan perbandingan ini tepat.
Karena rasa bangga itu pula, saya sejak awal memutar Stasiun Global TV. Saya lihat itu keterangan di layar. Mobil Rio ternyata di urutan nomor 22, paling buncit. Tak apa, walau kecil di layar tv masih sempat kelihatan juga. Karena kamera lebih suka menyorot mobil-mobil dengan pembalap unggulan, saya cukup puas melihat sekali-sekali dengan tetap memelototi nomor urut di bagian bawah layar. Wah hebat, Rio sempat ke urutan 19, 20, sampai akhirnya di posisi 18. Hebat.
Tapi sayang sekali paska insiden tabrakan Fernando Alonso sama Esteban Gutierrez, Rio tak muncul lagi. Wah, rupanya mobilnya mogok tak bisa turun lagi. Rio harus puas sampai di situ. Ah, tapi ada 19 sirkuit balap lagi, masih panjang perjalanan. Namun, entah pikiran nakal saya langsung berbisik, “Menpora Imam Nachrowi harus segera melunasi dana 15 juta euro yang baru dibayar sebagian itu. Bismillah, nanti mobil tak ngadat lagi”.