Mohon tunggu...
mohammad mustain
mohammad mustain Mohon Tunggu... penulis bebas -

Memotret dan menulis itu panggilan hati. Kalau tak ada panggilan, ya melihat dan membaca saja.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Reklamasi, Nelayan, dan Pencemaran Teluk Jakarta (2)

24 April 2016   10:09 Diperbarui: 24 April 2016   10:17 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saat reklamasi Teluk Jakarta dimoratorium pemerintah, kembali muncul desakan agar reklamasi dihentikan total dengan berbagai alasan. Salah satunya, memakai dasar keputusan Mahkamah Konstitusi No 3/PUU-VIII/2010, tanggal 16 Juni 2011. Keputusan ini menegaskan pemberian hak pengusahaan perairan pesisir (HP3) kepada perorangan atau investor, melanggar prinsip demokrasi ekonomi karena akan mengakibatkan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil menjadi wilayah HP3 yang dikuasai pemilik modal besar.

Penguasaan itu bisa berakibat tersingkirnya nelayan yang berdiam dan menggantungkan hidupnya pada kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. MK mengembalikan persoalan pengelolaan kawasan pesisir ke semangat dasar UUD 45 Pasal 33. Atas dasar itulah, Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) sebagaimana tercantum dalam UU No 27 Tahun 2007 Pasal 1 (18), Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21 Pasal 22, Pasal 23 ( ayat 4 dan 5), Pasal 50, Pasal 51, Pasal 60 (1), Pasal 71, Pasal 75 UU No 27 Tahun 2007 bertentangan dengan UUD 45.

Mengacu kepada keputusan itu, reklamasi memang bisa dipandang inkonstitusional jika pelaksanaannya didasari semangat pemberian HP3 yang dilarang MK itu. Namun, sebaliknya jika reklamasi Teluk Jakarta memakai dasar kepentingan umum (yaitu penyiapan lahan bagi kebutuhan ruang DKI Jakarta sesuai perkembangan penduduk) keputusan MK itu tidak tepat diterapkan dalam kasus ini.

Semangat dasar Pasal 33 UUD 45 adalah menempatkan asas ‘’manfaat sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat’’ dan ‘’penguasaan negara atas bumi dan kekayaan yang terkandung di dalamnya’’. Juga “perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.

Reklamasi Teluk Jakarta bisa dinilai punya kemiripan dengan hak pengelolaan migas yang selama ini diterapkan pemerintah. Pemerintah selaku pemilik sah seluruh kekayaan di bumi Indonesia, mengundang investor untuk mengelola kekayaan itu dengan berbagai perjanjian. Intinya, pemerintah dan investor akan sama-sama memperoleh keuntungan sesuai rentang waktu yang disepakati.

Dalam kasus reklamasi Teluk Jakarta, Pemprov DKI Jakarta juga mengundang investor untuk melakukan reklamasi sesuai kebutuhan, berdasar perjanjian yang disepakati bersama. Sebuah perjanjian yang tentunya harus tertuang dalam produk hukum resmi yang menguntungkan kedua belah pihak, dalam rentang waktu yang disepakati bersama. Pemerintah DKI dalam hal ini tak hanya bisa memenuhi kebutuhan ruang, namun bisa memetik pajak triliunan rupiah untuk pembangunan.

Masalahnya adalah, apakah perjanjian dan pola kerja sama itu tidak ‘sangat mirip’ dengan dengan HP3 yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 45 oleh Mahkamah Konstitusi? Inilah yang harus dikaji lagi. Salah satu tolok ukurnya misalnya, pulau hasil reklamasi tidak serta merta menjadi hak ‘eksklusif’ investor yang ingin membangun kawasan ekonomi khusus untuk orang-orang khusus pula.

Ada makna ‘kepentingan umum yang lebih luas untuk menata Jakarta ke depan’. Jelas kepentingan itu tidak sama dengan kepentingan investor semata. Kepentingan umum juga menyangkut kepentingan para nelayan di Teluk Jakarta, yang juga berhak menikmati dan mendiami pulau-pulau hasil reklamasi itu. Sebagai warga pesisir Jakarta, mereka sudah seharusnya diberi hak mendiami sebagian kawasan pesisir dari pulau hasil reklamasi itu.

Hal itu harus ditegaskan dalam ketetapan pola kerja sama antara Pemprov DKI dan investor, baik berupa Perda atau aturan hukum yang lebih tinggi. Nelayan harus jadi bagian dalam ‘bagi hasil’ pulau reklamasi itu. Misalnya saja, kewajiban membangun perumahan yang layak bagi nelayan di pulau itu, serta bantuan modal, pembinaan keterampilan bidang pariwisata atau UKM yang dikembangkan di pulau itu. Juga adanya jaminan bahwa pulau itu bukan merupakan hunian ekslusif kalangan tertentu.

Inilah yang membedakan semangat reklamasi di Jakarta dengan reklamasi di Dubai Uni Emirat Arab, misalnya. Reklamasi Teluk Jakarta bisa dilakukan berdasar kepentingan pemerintah, kepentingan para nelayan, dan kepentingan investor. Ketiga kepentingan ini harus beriringan. Jika hanya kepentingan investor itu berarti pemberian HP3. Jika hanya kepentingan nelayan, tidak akan pernah ada reklamasi. Jika hanya kepentingan pemerintah, apa Pemprov DKI mampu membiayainya.

Pandangan semacam itu tentu tidak memuaskan kalangan pegiat hak nelayan yang ingin raklamasi berhenti total dari menganggap kawasan pesisir adalah hak tradisional nelayan, seperti sawah dan ladang mereka (meski tak pernah ada sertifikat model begini). Menurut penulis, kawasan pesisir tetap dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat banyak dan tak hanya kalangan nelayan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun