Setelah saya otak-atik sekian lama, akhirnya ketemu juga judul yang cocok untuk tulisan ini. Meski mirip judul berita di koran-koran itu, tetapi ya itulah kalimat yang pas untuk menggambarkan rencana aksi 2 Desember besok. Tak ada demonstrasi lagi, yang ada hanya doa dan Sholat Jum'at bersama di pelataran Monas.Â
Karena itu acara doa dan sholat, tentu niatnya baik yaitu mendoakan keselamatan bangsa dan negara. Kalau acara doa tapi tidak membawa keselamatan bangsa dan negara dan malah menimbulkan kemudharatan, tentu perlu dipertanyakan kembali tujuan acara doa itu. Jadi tujuan acara ini yang harus dipegang erat.
Ada suara, acara doa dan sholat Jumat itu masih dalam rangka aksi bela Islam yang digerakkan oleh GNPF MUI yaitu terkait kasus dugaan penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama. Jadi, dengan doa itu terselip harapan agar Basuki Tjahaja Purnama yang sudah ditetapkan sebagai tersangka itu bisa segera ditahan. Nah, kalau ini memang doa yang "khusus" rupanya.
Kembali ke tujuan doa yang katanya untuk keselamatan dan kebaikan bangsa dan negara ini. Untuk mencapai tujuan doa itu, tentu tidak sepenuhnya diserahkan kepada Allah, Penguasa Seru Sekalian Alam. Manusia punya kewajiban pula untuk berlaku sesuai doa yang dipanjatkan itu. Jadi kalau ingin bangsa ini selamat dan dilimpahi kebaikan maka bertindaklah yang membawa keselamatan dan kebaikan.
Adalah bertolak belakang, jika manusia hendak berdoa untuk keselamatan dan kebaikan bagi bangsa ini, tetapi tingkah laku yang diperlihatkan untuk "acara" berdoa itu malah tidak menimbulkan keselamatan dan kebaikan. Misalnya, acara doa itu malah menimbulkan rasa tidak aman kelompok masyarakat lain, mengganggu kelompok masyarakat lain, atau acara doa itu justru menimbulkan kemudharaatan bagi pesertanya.
Keadaan itu bisa terjadi kalau acara doa itu diikuti oleh peserta dengan jumlah melampaui kapasitas tempat berdoa. Ini sebab yang bisa terjadi pada acara apa pun yang mengumpulkan massa. Karena itu, membatasi jumlah peserta doa agar sesuai kapasitas tempat berdoa itu penting. Ya, seperti jamaah haji yang ditetapkan kuotanya itu.Â
Selain itu, jumlah massa yang berlebih juga berpotensi menimbulkan rasa tidak aman pada kelompok masyarakat lain. Ini terjadi jika peserta doa tidak bisa mengontrol perilakunya, baik ucapan maupun tindakan selama proses sebelum dan sesudah berdoa. Kecenderungan massa jumlah besar bertindak yang tidak baik itu juga besar meski datang ke acara doa, jika tidak ada kontrol dan pengawasan dari penyelenggara acara doa itu.
Jumlah yang besar juga bisa mengganggu aktivitas warga lain. Karena penduduk ibu kota Jakarta itu tidak semuanya berurusan dengan doa itu. Ada aktivitas ekonomi masyarakat, aktivitas pendidikan, birokrasi pemerintahan, pertahanan dan keamanan, yang semuanya harus berjalan untuk keselematan demi kebaikan bangsa ini. Kalau acara doa justru mengganggu itu semua, tentu perlu dikaji lagi tujuan berdoa itu.
Yang perlu juga diingat orang berdoa itu bukan banyak-banyakan peserta yang mengikutinya. Kalau itu yang terjadi, bukan acara doa namanya tetapi pemecahan rekor baik untuk MURI atau Guiness Book of Record. Ini tentu bertolak belakang dengan adab dan tujuan doa.
Berdoa dan sholat itu juga ada aturannya. Soal aturan sholat dan tempat yang dilarang sudah jelas, di antaranya jangan di jalan raya. Tetapi, ada satu hal yang sering dijadikan pertimbangan utama saat orang berdoa atau sholat yaitu tempat yang dipakai itu maqbul atau bahkan mustajab. Nah, dengan pertimbangan ini ada muncul pertanyaan, apakah berdoa dan sholat Jumat di masjid kini sudah kalah mustajab dengan di Monas. Maaf, silakan dijawab sendiri.
Kegiatan berdoa itu jelas berbeda pula dengan acara unjuk rasa atau demonstrasi. Kalau kegiatan yang ini memang untuk mengungkapkan perasaan dan tuntutan kepada pemerintah atau pihak lain yang dinilai bisa mengubah atau mengabulkan tuntutan mereka. Dari pemahaman berdoa itu berbeda dengan berunjuk rasa  ini, muncullah ungkapan "Gusti Allah kok diajak demo", "Gusti Allah kok diajak kampanye".Â