Gerakan sholat Subuh berjamaah bukanlah hal baru. Sebelum ada seruan yang dilontarkan oleh Riziek Cs lewat GNPF MUI, gerakan ini sudah jadi seruan untuk memakmurkan masjid dan musholla. Hal itu menjadi agak lain, ketika gerakan sholat Subuh berjamaah dijadikan kelanjutan aksi sholat Jumat di Monas, yang kita kenal dengan aksi 212, dan diberi titel Gerakan Subuh Berjamaah 1212.
Akibat perubahan aksi sholat Subuh berjamaah itu, yang kini dipusatkan di beberapa tempat seperti di Pusdai Bandung itu, sifat sholat itu juga tidak bisa dipandang sebagai gerakan murni ibadah, sujud tafakkur ke hadirat Illahi Robbi. Adanya embel-embel gerakan bela Islam, menjadikan gerakan itu cukup layak disebut Gerakan Politik Sholat Berjamaah.
Ada hal pokok yang membedakan gerakan sholat berjamaah dengan gerakan politik sholat berjamaah, yaitu motif dan tujuan sholat itu. Jika sholat berjamaah murni karena niat "Illaihi anta maksudi waridlo kamatlubi", maka pada politik sholat berjamaah ada motif politik yang kental, semacam show of force untuk tujuan politik tertentu. Dalam kasus politik sholat Subuh berjamaah 1212, motif politik itu sama dengan aksi 212 di Monas.
Apa yang saya tulis ini, tentang fenomena gerakan politik sholat berjamaah, bukanlah bahasan baru. Saat saya ketik kata "sholat politik" di mesin pencarian Google, ternyata Prof.Dr.Sumanto al Qurtuby, MSi, MA, staf pengajar Antropologi Budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi, juga sudah membahas masalah ini (25 November 2016) sebelum aksi 212 di Monas.
Menurut dia, salat, seperti bentuk-bentuk ibadah ritual lain baik di Islam maupun di agama-agama lain, bukan hanya “tindakan ibadah” agama semata tetapi juga bisa disebut sebagai “aksi politik” kalau dilakukan dengan motif dan tujuan politik tertentu.
Fenomena “ibadah sebagai aksi politik” ini terjadi di banyak negara dan masyarakat. Dulu, di Bolivia, seperti ditunjukkan dalam studi June Nash, para buruh, karyawan dan pengusaha perusahaan timah swasta menggunakan ritual tradisional bernama cha’alla untuk memprotes kebijakan pemerintah yang melakukan nasionalisasi perusahaan timah.
Di Perancis, kaum perempuan Muslimah pernah menggalang “gerakan jilbab” sebagai bentuk protes pada pemerintah yang melarang umat beragama menggunakan simbol-simbol keagamaan di tempat-tempat publik. Sejumlah sekte agama, baik dalam Islam maupun non-Islam, termasuk kelompok mistikus dan sufi, dalam sejarahnya juga pernah menggelar “ritual untuk politik” yang memiliki latar belakang dan tujuan macam-macam.
Kalau memang benar ada gerakan dan memobilisasi massa untuk salat Jum’at di jalan raya, sementara banyak masjid atau lapangan yang kosong-melompong, itu jelas para penggerak dan penggagas salat Jum’at di jalan raya itu hendak menggunakan ritual salat sebagai “instrumen politik” untuk tujuan-tujuan politik tertentu. Inilah yang saya sebut sebagai “politik salat”, dan kalau memang benar terjadi “salat Jum’at di jalan raya”, maka salatnya itu disebut “salat politik”. (sumanto al qurtubi, 25/11/2016)
Mengacu pada pendapat Prof.Dr.Sumanto al Qurtuby, MSi, MA, tersebut, tentang penggunaan ritual sholat sebagai "instrumen politik" untuk tujuan politik tertentu, maka meski tidak sama persis, baik aksi sholat Jumat di Monas maupun aksi sholat Shubuh berjamaah, layak disebut sebagai "politik sholat". Soal tinjauan syar'i tentang sholat semacam itu, tulisan ini tak hendak membahasnya.
Yang jadi pertanyaan pokok adalah gerakan politik sholat berjamah itu untuk apa. Tujuan politik apa yang hendak diraih, dan sampai kapan gerakan ini berlanjut. Pertanyaan ini menjadi penting karena adanya kecenderungan melebarnya tujuan awal gerakan GNPF MUI yang awalnya untuk mengawal kasus dugaan penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama, berbelok hendak melengserkan Jokowi dari kursi presiden.
Penunggangan oleh kelompok makar, hingga keinginan menerapkan hukum syariat Islam di Indonesia, bahkan ada juga yang bermaksud mendirikan kekhilafahan di Indonesia, juga ikut di dalamnya. Aksi 411 dan 212 tak usah dipungkiri, diikuti juga kelompok massa yang bermaksud seperti itu. Bahkan ada juga yang secara terbuka membagikan selebaran tentang niatan pendirian kekhilafahan di Indonesia yang dilakukan massa Hizbut Thahir Indonesia.