Mistisme bagi kehidupan sebagian masyarakat Indonesia ibarat nasi dan sayur atau lauk pauknya, saling melengkapi. Kalau salah satu menghilang, hidup terasa hambar. Gambaran ini mungkin cocok untuk memahami perilaku warga perdesaan dengan aneka adat istiadatnya. Mistisme bisa selaras dengan ajaran agama namun ada juga yang menabrak rambu-rambu aqidah yang lurus.
Peringatan setahun sekali pada tempat atau makam yang dianggap keramat, punya kekuatan gaib, tempat doa dinilai manjur (bahkan yang menyimpang tempat atau makam itu bisa dimintai sesuatu), adalah salah satu wujud sikap mistisme. Di tempat semacam ini, kegiatan peringatan mengambil bermacam bentuk bergantung kepercayaan warga.
Ada yang mengadakan pengajian, Â ada pula yang mengadakan pertunjukan keseniaan baik wayang atau langen tayub semalam suntuk. Ada pula kegiatan nyadran atau mengadakan acara kenduri masal (barikan) dan makan beramai-ramai setelah dibacakan doa. Mistisme dan agama terkadang berjalan beriringan, namun ada pula yang berlawanan pada prinsipnya.
Tempat yang dianggap keramat semacam itu akan selalu diiringi dengan legenda atau kisah kesaktian, keangkeran, kesakralan, dan kemanjuran tempat itu dalam mengabulkan doa dan harapan peziarahnya. Bagi beberapa orang, itu adalah oase dalam hidup yang keras dalam mengejar kemakmuran ekonomi dan sebuah jalan pintas meraih sukses hidup. Inilah salah satu faktor ramainya wisata ziarah.Â
Kesan inilah yang saya jumpai saat mengunjungi air terjun Bongok tak jauh dari makam Pangeran Singonegoro di Dusun Kerokan, Desa Jetak, Kecamatan Montong, Tuban, minggu lalu. Di balik keindahan air terjun itu ternyata tersimpan kisah mistis yang tak kalah menariknya. Inilah kelanjutan wisata ndeso, setelah mengunjungi Situs Banyu Langse, Desa Boto Kec. Semanding.
Dari Boto, kami lanjutkan perjalanan menuju Merak Urak. Lewat Desa Tuwiri Wetan perjalanan kami lanjutkan ke Montong. Sekitar dua kilometer sebelum kota kecamatan Montong, tepat di pertigaan Pucangan kami belok kiri menuju Desa Pakel. Sesampainya di pertigaan Desa Pakel, belok kiri dan terus jalan sampai pertigaan lagi dan ambil belok kiri lagi, kemudian lurus.Â
Sekitar sepuluh menit dari Pakel, kami jumpai papan penunjuk di sisi kanan jalan, menunjukkan arah ke makam Pangeran Singonegoro dan air terjun Bongok, Â lantas belok kanan lagi. Seluruh jalan yang kami lewati sudah beraspal. Hanya sekitar satu kilometer saja yang tak beraspal dan itu sudah memasuki kawasan hutan di lokasi air terjun. Karena lokasinya yang terpencil, beberapa kali kami bertanya kepada penduduk setempat untuk mengetahui arah jalan yang benar.
Pepohonan makin lebat dan udara makin sejuk, berlawanan dengan udara kering di perjalanan tadi. Rupanya kami memang telah memasuki kawasan air terjun Bongok, Dusun Kerokan, Desa Jetak, Kecamatan Montong. Sekitar 32 km jarak yang harus kami tempuh kalau dihitung dari Kota Tuban.
Tetapi, saya agak ragu-ragu untuk terus mengendarai motor. Jalan di depan tampak turun cukup tajam, diapit tebing tinggi di kiri kanannya. Â Jalan itu memang sudah disemen dengan tiga lajur: kiri, kanan, dan tengah. Namun, tetap saja saya ragu. Lelaki muda yang tampak mengendarai motor dari arah bawah, menyatakan jaraknya masih lumayan jauh.
Akhirnya, istri saya memutuskan untuk turun dan berjalan saja, Â sementara saya nekat mengendarai motor dengan menarik dan menginjak rem depan dan rem belakang. Walaupun berjalan merayap turun, dan sekali menikung, setelah lima menit sampai juga kami di tanah lapang yang diapit bukit dan dipenuhi pepohonan tinggi menjulang.