Mohon tunggu...
mohammad mustain
mohammad mustain Mohon Tunggu... penulis bebas -

Memotret dan menulis itu panggilan hati. Kalau tak ada panggilan, ya melihat dan membaca saja.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Akhirnya, Masela Mendarat Juga

24 Maret 2016   02:44 Diperbarui: 24 Maret 2016   02:49 1133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ini bukan soal kalah atau menang. Ini bukan soal mahal atau yang lebih mahal. Ini bukan sekedar keuntungan dan penerimaan negara. Namun, ini soal kedaulatan ekonomi, persatuan negeri, dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Karena itu, Masela diputuskan dikerjakan dengan kilang darat, keputusan yang sesuai dengan amanat UUD 45 dan Nawacita. Mungkin itulah komentar yang pas setelah Presiden Jokowi mengambil keputusan itu.

“Dari kalkulasi, dari perhitungan, dari pertimbangan-pertimbangan yang sudah saya hitung, kami putuskan dibangun di darat,” kata Jokowi, sebagaimana dikutip dari www.kompas,com . Keputusan itu diambil dengan mempertimbangkan efektivitas proyek jangka panjang yang menelan anggaran besar. “Tidak hanya setahun, dua tahun, tidak hanya sepuluh tahun, lima belas tahun, tetapi proyek yang sangat panjang dan menyangkut ratusan triliun rupiah.”  

Ada dua pertimbangan utama keputusan itu. Pertama, pemerintah ingin proyek itu membawa manfaat ekonomi bagi masyarakat setempat. Kedua, proyek Masela juga bisa memicu pembangunan di kawasan Maluku dan sekitarnya. Inilah amanat UUD 45 dan pembangunan yang sesuai Nawacita.

Keputusan presiden itu bisa jadi merupakan datangnya era pembangunan di sektor migas, yang menekankan kepentingan masyarakat di kawasan sekitar daerah tambang, di tataran utama. Masyarakat tidak lagi ditempatkan hanya sekedar penerima dana CSR. Namun, keberadaan pertambangan harus bisa secara langsung memicu pertumbuhan ekonomi kawasan. Bukan lagi sekedar mengkalkulasi angka-angka US dolar, namun juga manusia yang ada di sekitarnya.

Dalam beberapa kasus pertambangan, termasuk Lapindo, rakyat sering sekedar sebagai objek pelengkap (penderita) saja. Pertimbangan utama selalu menempatkan seberapa banyak migas yang bisa diperoleh, seberapa besar penerimaan negara dari tambang itu. Model penambangan semacam itu, bisa menerobos kawasan padat penduduk yang sangat berisiko jika terjadi musibah pertambangan, kebocoran atau lumpur. Sering terjadi, puluhan warga harus dibawa ke RS karena kebocoran gas atau lainnya. Rakyat posisinya hanya sekedar pelengkap penderita.

Hal itu sudah berlangsung puluhan tahun. Pertambangan migas ditampilkan sebagai dunia tertutup hanya untuk para petinggi. Bahkan data jumlah migas yang diangkat saja, seolah rahasia negara tingkat tinggi. Aturan bagi hasil pusat dan daerah memang berhasil mengubah itu. Namun pertanyaannya, apakah kepentingan rakyat setempat juga sudah ditempatkan dalam tataran utama? Saudara kita di Sidoarjo yang sudah terteror lumpur dan gas, kini masih harus terus terteror dengan rencana pengeboran migas di daerahnya.

Oleh karena itu, keputusan presiden yang menempatkan kepentingan rakyat sebagaimana amanat undang-undang, menumbuhkan harapan baru. Harapan akan ditempatkannya kepentingan rakyat sebagai hal yang utama. Keputusan itu menumbuhkan harapan investor tak lagi menempati posisi ‘raja’ yang menentukan segalanya. Rakyatlah ‘raja’ itu dan presiden adalah pemegang amanah ‘raja’.

Saat ini, ada yang menganggap keputusan terkait Masela itu sebagai kemenangan Rizal Ramli dan Rakyat Maluku. Namun, rasanya kurang tepat, mengaitkan keputusan pembangunan kilang minyak itu hanya kepada sosok Rizal Ramli. Keputusan itu --saya rasa Rizal Ramli pasti setuju-- lebih tepat jika dipandang sebagai kemenangan pembangunan yang bertumpu pada kepentingan rakyat sesuai amanat UUD 45 dan Nawacita. Masela hanyalah salah satu dari sekian banyak kekayaan alam yang kita punya. Rizal Ramli pasti sangat menyadarinya karena itulah lantang menyuarakannya.

Memang perbedaan pendapat antara Menteri ESDM Sudirman Said dan SKK Migas, yang mengusung pembangunan kilang laut dengan Menko Kemaritiman Rizal Ramli yang mengusung pembangunan kilang darat, cukup tajam. Begitu tajamnya sehingga dinilai menimbulkan kegaduhan. Namun, kegaduhan itu cukup fair jika dinilai sebagai kegaduhan yang positif. 

Adalah tidak fair jika kegaduhan itu dipakai alasan untuk khawatir adanya resufle kabinet. Presiden Jokowi cukup arif menilai persoalan ini. Yang tidak arif adalah pihak-pihak yang mendorong terjadinya resufle kabinet dengan alasan itu. Entah berapa kali hal itu dipertontonkan dengan acara talk show atau pemberitaan di media. Presiden Jokowi pasti tetap arif dan tak terpengaruh oleh desakan itu.

Dengan telah diambilnya keputusan model pembangunan kilang darat untuk gas Blok Masela, maka dua pihak yang seharusnya sama-sama memakili kepentingan negara dan rakyat Indonesia (bukan kepentingan investor) kini harus duduk satu meja. Memang sebagaimana pernyataan presiden, keputusan itu diserahkan kepada Kementerian ESDM dan SKK Migas untuk menindaklanjutinya. Namun, sangat tidak bijak dan konyol jika kemudian sampai muncul pernyataan “Saya hanya menggunakan data dari Inpex dan bukan lainnya”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun