"Setelah mendengar keterangan terdakwa Ahok alias Basuki Tjahaya Purnama, atas tuduhan Jaksa Penuntut Umum Mata Najwa Shihab, dan juga penjelasan para ahli bahasa, maka majelis hakim memutuskan: terdakwa Ahok bukan gila jabatan tapi pejuang jabatan. Oleh karena itu, terdakwa diperbolehkan kembali menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta".
Begitulah kira-kira bunyi putusan fragmen "peradilan Mata Najwa" yang mengambil topik "Pertaruhan Ahok", seandainya dibuat Ahok dangan bicaranya yang ngotot itu berhasil meyakinkan saya, bahwa dia memang bukan 'gila jabatan' namun 'pejuang jabatan'. Dia berhasil menunjukkan adanya perbedaan antara "gila" dan "pejuang".Â
Acara itu memang ditampilkan bak peradilan terbuka terhadap Ahok. Najwa dengan "garang" menohok sang "terdakwa" dengan pertanyaan seputar sepak terjangnya, termasuk urusan "gila jabatan" itu. Meski demikian, Ahok dengan penampilannya dan ucapannya yang ceplas-ceplos berhasil menjawab dengan berbagai cara. Mungkin inilah Ahok yang sebenarnya, semakin diserang semakin lantang.
Kembali ke masalah "gila jabatan". Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pengertian gila jabatan atau tertulis gila pangkat, ada dua. Pertama, dimaknai 'selalu mencari atau mengejat pangkat', dan kedua, dimaknai 'berubah sikap setelah menduduki jabatan tinggi'.Â
Pengertian ini selaras dengan konotasi negatif kata 'gila' yang bermakna sakit ingatan, terganggu pikirannya, berlaku tidak biasanya atau bukan-bukan. Jika ditambah kata 'pangkat' atau 'jabatan', makna ungkapan itu pun menjadi berkonotasi negatif pula.
Mengacu ke pengertian itu, tindakan seseorang yang membabi buta, menghalalkan segala cara untuk meraih atau mempertahankan jabatan, bisa disebut gila jabatan. Ungkapan ini selaras pula dengan sifat dasar kekuasaan yang terkandung dalam jabatan, yang cenderung 'gila' dan koruptif', meski itu dalam sistem yang demokratis
Jika Ahok melakukan hal itu, maka dia pantas disebut 'gila jabatan'. Namun kenyataannya tidaklah demikian. Ahok dengan enteng mengatakan jabatan itu amanah, diberi ya diterima dan dikerjakan, tidak dapat ya patut disyukuri karena terlepas dari beban. Ini artinya Ahok masih waras.
Sebaliknya, tindakan bukan-bukan yang dilakukan, seperti mengubah aturan, undang-undang, menebar isu, mengadu domba, hanya demi jabatan atau kekuasaan, bisa masuk dalam pengertian 'gila jabatan". Tak perlu disebut siapa yang masuk kategoti ini. Sangat banyak rakyat Indonesia yang paham dan bisa menggolongkan masuk kategori apa para pemimpinnya.
Kalau bisa digolongkan sebagai penyakit, gila jabatan masuk kategori penyakit jiwa. Bukan sekedar sel-sel syaraf yang terganggu, tapi kondisi psikis yang terserang. Badan bisa sehat, makan banyak, duit banyak, minum bantak, istri banyak, pokoknya serba banyak sebagaimana menjadi gaya hidup "orang sehat dan waras". Namun, kondisi psikisnya morat-marit.
Sangatlah sulit mengobati penyakit semacam ini. Yang terjangkit sering menganggap apa yang dilakukannya biasa saja. Ini negara demokratis. Senyampang tindakan tidak melanggar undang-undang atau ketahuan, boleh-boleh saja. Meyakinkan penderita penyakit gila jabatan agar dia berobat tidaklah mudah. Bisa-bisa yang meyakinkan akan dikenai tuduhan macam-macam, penghinaan misalnya, yang berujung sel penjsra. Ngeri.
Karena menyangkut jiwa, obatnya tentu saja harus bersifat spiritual pula. Kembali ke jalan tuhan, sebagaimana bunyi sila pertama dasar negara Pancasila, juga meletakkan kembali nilai etika berbangsa ke dalam jiwa. Ini tidak bisa dilakukan pihak luar kecuali yang terjangkit "penyakit" itu sendiri. Karena itu, selagi tak ada kesadaran sendiri, gila jabatan tetap berpotensi besar meghinggapi seseorang.