Mohon tunggu...
mohammad mustain
mohammad mustain Mohon Tunggu... penulis bebas -

Memotret dan menulis itu panggilan hati. Kalau tak ada panggilan, ya melihat dan membaca saja.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pilpres dan Darurat Gangguan Ereksi

25 Maret 2019   07:24 Diperbarui: 25 Maret 2019   07:26 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Intermezzo

Netizen 062 itu memang suka yang heboh-heboh di musim pilpres kali ini. Hebohnya kadang membuat saya terkagum-kagum. Bagaimana tidak, urusan darurat ereksi dan darurat pemilu kok dilaporkan ke Komite Olimpiade Internasional. Apakah itu karena di olimpiade  biasanya ada tukang pijatnya, ya?

Ndak percaya? Coba saja baca tagar #INAerrectionObserverSOS# dan #INAelectionObserverSOS# yang membanjiri percakapan di medsos. 

Saya pertama kali baca, meski agak terlambat, tagar #INAelectionObserverSOS# di komentar akun FB Presiden Jokowi. Ada yang mengirimkan spam berisi tagar itu berulang-ulang. Itu saya baca 22 Maret pagi. Setelah itu, baru saya baca tagar balasannya #INAerrectionObserverSOS di FB maupun Twitter.

Ramai sekali, penuh semangat juang yang menyala-nyala, perang dua tagar itu seperti Indonesia sedang dilanda situasi darurat lemah syahwat salah satu kubu peserta pilpres, yang lantas melempar handuk dan menunggu bantuan darurat dari Komite Olimpiade Internasional. 

Sungguh mengharukan. Ini jelas sebuah situasi yang tidak boleh disenyumi. Kurang afdol. Kalau ngakak, baru pas.

Soal Komite Olimpiade Internasional  itu, saya simpulkan sendiri dari hasil baca tulisan Deni Siregar saat mengkritik para pengusung tagar #INAelectionObserverSOS bahwa kode Indonesia di PBB itu IDN dan bukan INA. Jawaban mereka, kode INA itu sudah diakui oleh Komite Olimpiade Internasional. Jadi mereka memang minta bantuan ke sono.

Kita ini terkadang suka lupa, sehingga sering jadi warga bangsa yang kurang pede. Indonesia itu kan dikenal gudangnya orang sakti. Coba saja lihat proses pembuatan keris yang berlekuk-lekuk itu dulu cukup pakai tangan. Besi meteor oleh para empu dilekuk-lekuk pakai tangan. Dan, jadilah keris yang sakti, indah, mistis, dan mempesona warga dunia itu.

Kalau batu meteor yang keras saja bisa dibegitukan, apalagi yang lunak-lunak. Ada yang mau dibuat keras dan tegang? Lah itu malah lebih banyak lagi ahlinya. 

Jadi seharusnya jangan buru-buru minta bantuan Komite Olimpiade Internasional. Di Indonesia juga banyak ahlinya ahli yang tokcer dalam urusan seperti itu.

Makanya, saat Nurhadi Aldo dulu McQueen YaQueena maju sebagai "capres" nomor urut 10, saya menilai langkahnya itu sebagai hal yang positif. Sentuhan tangan Nurhadi Aldo pastilah bisa membuat semuanya kembali tegak dan tegang dan siap menerjang, jika sampai ada warga kubu capres-cawapres yang mengalami situasi darurat seperti itu.

Politik itu kalau dinikmati secara overdosis bisa berdampak tidak baik bagi kesehatan. Tentunya termasuk urusan seperti #INAerrectionObserverSOS# dan #INAelectionObserverSOS# itu. 

Kata Kang Pepih Nugraha, pendiri Kompasiana dan pemilik Pepnews.com, hanya kapal yang mau tenggelam saja yang biasanya minta SOS.

Omongan Kang Pepih ini kok jadi mengingatkan pada meme bergambar Bu Susi Pujiastuti dan kapal bertuliskan Prabowo-Sandi yang miring hampir tenggelam. Pada meme itu tertulis TPS yang dijadikan kepanjangan dari frase Tenggelamkan Prabowo Sandi. 

Foto meme/rancah.com
Foto meme/rancah.com
Lah, pilpres belum dimulai kok kapalnya sudah miring dan kirim permintaan SOS. Bagaimana sih pendukung Prabowo-Sandi yang buat tagar #INAelectionObserverSOS itu.

Dari sekian tagar yang dibuat pendukung Prabowo-Sandi di Twitter, mungkin tagar itulah yang paling jujur menyuarakan kegelisahan mereka akan kalah pada Pilpres 17 April nanti. 

Ibarat pertandingan belum dimulai, mereka sudah kirim permintaan SOS terlebih dahulu karena merasa kapal mereka akan tenggelam.  Kode negara yang mereka pakai juga kode yang diakui Komite Olimpiade Internasional.

Pemantau Pemilu dari Luar Negeri

Sebenarnya, kalau mau sedikit cerdas, pendukung Prabowo-Sandi tidak perlu buat tagar #INAelectionObserverSOS yang akhirnya malah jadi bahan guyonan dan cemoohan itu. Maunya ingin memberikan gambaran kalau situasi pemilu di Indonesia sangat darurat sehingga perlu bantuan pengamat luar. Tapi, pesan yang tertangkap justru malah kepanikan kapal Prabowo-Sandi oleng mau tenggelam sehingga minta SOS.

Keberadaan pemantau pemilu bukan hal baru bagi negara demokrasi semacam Indonesia. Tak hanya menerima pemantau pemilu dan luar negeri, Indonesia juga mengirimkan pemantau pemilu ke luar negeri. 

Komisi Pemilihan Umum sudah jauh-jauh hari berencana mengundang beberapa pemantau dari luar negeri. Karena itu mereka tidak mempermasalahkan keinginan Badan Pemenangan Nasional  Prabowo-Sandi untuk mengundang pemantau dari luar negeri.

Hanya saja, kehadiran pemantau pemilu dan luar negeri harus memenuhi ketetapan perundangan yang ada, yaitu Pasal 351  dan Pasal 360 UU No 7 Tahun 2017, yang menyebut kewenangan administratif, akreditasi serta perizinannya ditangani Bawaslu. Hanya pemantau yang telah diakreditasi baik Bawaslu Pusat, Provinsi, maupun kabupaten/kodya, yang boleh.

Persyaratannya, pemantau pemilu dari luar negeri harus berbadan hukum, bersifat independen, punya sumber dana jelas, punya kompetensi dan pengalaman pemantauan pemilu di negara lain yang dibuktikannya dengan surat dari organisasi pemantau atau pemerintah negaranya. 

Para pemantau dari luar negeri ini selain sudah diakreditasi di Bawaslu baik pusat maupun daerah sesuai cakupan wilayah pemantauan, juga harus menaati kode etik pemantau pemilu yang ditetapkan Bawaslu.

Jadi,  jika melihat ketetapan perundang-undangan, pemantau dari luar negeri bukanlah sebuah persoalan, senyampang tidak melanggar peraturan.

Yang membuat isu ini jadi agak lain adalah alasan kubu Prabowo-Sandi meminta kehadiran pemantau asing. Misalnya pernyataan ketua Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi, Djoko Santoso yang mengaku didatangi 23 dubes dari negara-negara Eropa.

Kepada para dubes itu dia menanyakan apakah di negara mereka orang gila mencoblos atau satu orang kepala desa menyoblos untuk seluruh warga desanya seperti sistem noken yang masih berlaku di Papua.  Kepada para dubes itu, Djoko meminta agar mereka mengirimkan tim pemantau. [1]

Djoko Santoso mungkin agak salah paham. Gangguan jiwa itu banyak jenis dan tingkatannya. Para penghuni RS Jiwa tentunya juga beragam gangguan kejiwaan yang mereka alami. 

Apakah mereka semua sudah  tidak mampu lagi melaksanakan haknya sebagai warga negara untuk ikut pemilu?  Ya belum tentu.  Hak memilih dalam pemilu tentu diberikan kepada yang mampu. Di sinilah peran dokter yang menanganinya menjadi penting.

Dasar KPU memasukkan penderita gangguan kejiwaan adalah ketetapan UU Pemilu. Ketetapannya, warga negara yang telah berusia 17 tahun, bukan TNI-POLRI, tidak dicabut hak politiknya, wajib dimasukkan daftar pemilih tetap (DPT). 

Termasuk dalam ketetapan itu adalah warga penyandang disabilitas. Warga yang mengalami gangguan kejiwaan adalah bagian dari penyandang disabilitas.

Hal itu juga sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi tahun 2015 lalu bahwa penderita gangguan kejiwaan punya hak mengikuti pemilu. Keputusan MK adalah ketetapan setara UU yang wajib dilaksanakan KPU.

Jika menelaah dasar pertimbangan KPU adalah ketetapan UU Pemilu dan keputusan MK, tentu tidak ada yang salah. Persoalannya adalah kemampuan penderita gangguan kejiwaan itu sendiri. 

Kalau mereka ingin mengikuti pemilu dan mampu secara kejiwaan yang dibuktikan dengan keterangan dokter yang menanganinya, tentu harus diperbolehkan.  Kalau tidak mampu meski sudah terdaftar di DPT, ya tidak masalah seperti warga negara lain yang tidak menggunakan haknya.

(Saya kok jadi teringat ucapan Sandiaga Uno saat masih menjabat wakil gubernur DKI Jakarta, Maret 2018 lalu. Saat itu dia secara terbuka mengakui banyak anggota keluarganya yang mengalami gangguan kejiwaan, baik berupa depresi, setres, dan jenis gangguan kejiwaan lain.  Ia mengatakan gangguan kejiwaan adalah realitas dalam kehidupan metropolis. [2])

Terkait sistem noken yang masih diberlakukan di banyak daerah di Provinsi Papua atau pun Papua Barat, sebenarnya KPU sendiri berupaya mengurangi daerah yang masih menerapkannya. Perlu proses untuk bisa mengubah pemilu dengan sistem noken ini. Noken sendiri adalah tas rajut khas Papua yang indah itu. 

Mahkamah Konstitusi sendiri telah menetapkan keabsahan sistem noken ini dengan keputusan No 47/81/PHPU.A/VII/2009.

Sistem noken yang masih berjalan itu dilaksanakan dengan dua model. Pertama, warga mencoblos sendiri pilihannya dan lantas memasukkan kertas suara ke noken yang dipegang kepala suku. Yang kedua, kepala suku yang mencoblos semua kertas suara mewakili warganya.

Jadi, dua permasalahan yang diungkapkan  Djoko Santoso kepada para dubes negara Eropa tadi, yaitu soal penderita gangguan kejiwaan dan sistem noken, keduanya mempunyai dasar hukum yang kuat. 

Jika memang pelaksanaan pemilu terkait dua hal tadi perlu pemantauan, itu bisa dilakukan sebagaimana pemantauan terhadap pemilu yang dijalani warga yang lain.

Tidak ada yang istimewa dari isu pemantau dari luar negeri yang diangkat kubu BPN Prabowo-Sandi ini. Yang menarik justru tagar #INAelectionObserverSOS yang dibalas tagar #INAerrectionObserverSOS itu. 

Kok minta SOS? Memangnya benar, kapal Prabowo-Sandi mau tenggelam?

Tangkapan layar meme tuman di medsos.
Tangkapan layar meme tuman di medsos.
Salam waras saja

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun