Nampaknya, dugaan bahwa Partai Gerindra mulai mengabaikan suara pemilih dari kalangan NU ada benarnya juga. Dugaan yang didasari sikap partai itu dan juga sikap ketua umumnya Prabowo Subianto yang tampak mengacuhkan desakan para santri dan tokoh NU, agar Fadli Zon meminta maaf terkait "puisi"nya yang menghina dan merendahkan KH Maimun Zubair atau Mbah Moen itu.
Hingga kini, belum ada reaksi dari Prabowo Subianto terkait tindakan Fadli Zon itu. Pengurus partai Gerindra juga belum menunjukkan sikap. Yang muncul justru semacam pembelaan seperti pembelaan Fadli Zon bahwa "puisi" itu tidak merendahkan Mbah Moen. Sebuah sikap yang berbeda jauh dengan reaksi partai ini atas pemenjaraan Ahmad Dhani misalnya.
Kompasianer Gatot Swandito menyebut sikap Prabowo dan partainya itu bisa jadi karena mereka lebih berat hati terhadap kelompok pendukungnya yang selama ini bersikap anti-NU. Kelompok ini dinlai lebih militan dalam mendukungnya, baik dalam bentuk aksi lapangan maupun di media sosial. (Demi "Propaganda Rusia", Prabowo (Masih) Bungkam Soal Puisi Fadli Zon [1] )
Sangat wajar, pertimbangan politik melatarbelakangi sikap dan tindakan Prabowo Subianto dalam menanggapi isu yang ada. Terlebih jika itu menyangkut orang dalamnya dan kepentingan sekutu politik yang lebih menguntungkan dirinya. Kasus Ahmad Dhani misalnya, dia dan kelompoknya bereaksi cepat karena hal itu dinilai bisa mengerek elektabilitas dengan melemparkan tuduhan ada ketidakadilan perlakuan hukum.
Mengacu kepada hal itu, jika respon atas kasus Fadli Zon itu juga didasari pertimbangan politik, wajar juga. Jadi, kalau hingga saat ini belum ada reaksi yang mengakomodasi tuntutan para santri dan masyarakat agar Fadli Zon meminta maaf dan sowan ke KH Maimoen Zubair, boleh jadi karena tidak ada kepentingan dan keuntungan politik jika tuntutan itu dipenuhi.
Artinya, dari kalkulasi politik Prabowo atau Gerindra, tidak ada dampak yang signifikan terhadap dukungan terhadap dirinya sebagai capres. Sebaliknya, sikap diamnya justru menguntungkan karena akan membuat kelompok pendukungnya yang selama ini anti-NU lebih militan lagi karena merasa lebih diperhitungkan.
Sebenarnya, persoalan Fadli Zon itu bukan persoalan yang rumit. Para santri dan masyarakat hanya meminta agar Fadli Zon meminta maaf secara langsung. Dia tidak perlu berkelit lagi bahwa "puisi"nya itu tidak merendahkan dan menistakan Mbah Moen. Sudah ada sepemahaman banyak orang, yang ahli atau pun biasa, bahwa "puisi" Doa yang Ditukar itu merendahkan dan menistakan Mbah Moen.
Jadi, seperti pernyataan gubernur Jawa Timur terpilih Chofifah Indar Parawansa, dia menyadari bahwa Fadli Zon telah khilaf dengan membuat dan mengunggah "puisi" itu. Karena itu Chofifah berharap Fadli Zon mau "sowan" ke Mbah Moen dan tidak perlu menggelar konferensi pers.
Chofifah juga mengingatkan bahwa Mbah Moen itu bukan hanya milik PPP. Mbah Moen sudah menjadi milik banyak orang, tidak hanya di Indonesia namun sampai dunia internasional. Pendapat Chofifah ini cukup fair dan tidak lepas dari sifat orang NU yang pemaaf dan sangat takzim dan tawadhu' kepada kiai. Terlebih lagi kepada ulama sepuh Mbah Moen yang sangat dihormati.
Jika mengacu kepada alasan dan pertimbangan munculnya desakan agar Fadli Zon segera meminta maaf kepada Mbah Moen itu, seharusnya dengan ringan hati seorangÂ
Fadli Zon akan segera meminta maaf. Prabowo Subianto pastilah juga akan mengingatkan anak buahnya itu untuk segera sowan ke Mbah Moen.
Jika hal itu tidak dilakukan, tentu sudah diperhitungkan secara matang dengan kalkulasi politik. Di sini penilaian Kompasianer Gatot Swandito tadi bisa mendapatkan pembenaran, bahwa secara politis, tidak meminta maaf itu jauh lebih menguntungkan.
Ini artinya, kantong suara dari kalangan NU yang selama ini masih ada di beberapa pesantren dan daerah dianggap tidak terpengaruh persoalan Fadli Zon itu. Bisa juga Gerindra kini bersikap realistis bahwa dukungan suara dari warga NU tidak terlampau banyak dan tidak perlu terlalu digandoli lagi.