(Catatan dari Desa)
Dag dag...dag dag...dag dag...Suara alat tenun tua dari kayu itu cukup nyaring terdengar dari salah satu deret rumah penduduk Dusun Sukorejo Desa Bulutigo Kec. Laren, 34 km sebelah barat-utara Kota Lamongan Jawa Timur. Ada tiga lelaki tua bertelanjang dada tampak tekun menenun sarung, di siang yang panas itu.
Tidak ada musik dangdut, tembang Jawa, atau lagu pop terdengar menyaingi atau menemani suara itu. Hanya beberapa ibu-ibu tampak bercakap-cakap di sela kesibukannya. Ada yang membersihkan gabah sisa panen, ada pula yang sibuk dengan pekerjaan rumah. Beberapa anak tampak bergegas berangkat mengaji ke masjid tak jauh dari deretan rumah itu, tepatnya di jalan sebelah utara rumah mereka.Â
Perkampungan yang diapit dua tanggul  tepat di tepi Bengawan Solo itu ditata dengan sistem blok. Di tengah perkampungan ada jalan memanjang dari selatan ke utara seperti membagi perkampungan itu jadi dua lajur. Sementara dari tanggul luar di sisi barat dibuat beberapa jalan sampai tanggul dalam di sisi timur, yang hanya sekitar 20 meter dari bibir Bengawan Solo.Â
Sebuah penataan kampung yang memudahkan evakuasi penduduk saat musim banjir tiba. Biasanya jika tanggul dalam tidak mampu menahan luapan air Bengawan Solo, penduduk akan naik ke tanggul luar di sisi barat. Di balik tanggul luar itu terhampar sawah mereka, yang sebagian sudah beralih jadi tambak udang faname setelah disewakan atau dibeli warga dari luar kampung.
Senin 30 April kemarin, saya punya kesempatan melihat aktivitas warga kampung ini. Perhatian saya langsung tertuju pada mesin tenun tua dari kayu jati dengan suaranya yang khas itu. Ternyata itu adalah mesin tenun sarung yang selama ini dikenal sebagai sarung tenun Parengan. Sebuah produk yang sudah lama dikenal masyarakat.
Entah mengapa tenun ikat itu lebih dikenal sebagai tenun ikat Parengan. Menurut sejarahnya, kerajinan menenun ikat dan juga pembuat alat tenunnya di wilayah Lamongan justru dimulai dari seorang lelaki warga Babat bernama Sumowihardjo pada tahun 1924.Â
Dari lelaki yang mendirikan Yayasan bernama Purwokriyo inilah warga Parengan belajar menenun. Lelaki ini pula yang membuat alat tenun bukan mesin yang tersebar di wilayah Lamongan, termasuk yang kini digunakan di Parengan dan sekitarnya.
Kemungkinan besar, karena banyak warga Parengan yang belajar tenun ikat ke Sumowihardjo dan berhasil menerapkan di desanya dan terus berkembang, masyarakat akhirnya lebih mengenal sebagai tenun ikat Parengan. Dari Parengan ini akhirnya menyebar ke desa lain di Kec. Maduran dan Kec. Laren.
Rupanya, meski perajinnya tersebar di banyak desa, semuanya dikendalikan oleh para juragan di Parengan di mana usaha tenun sarung ini berpusat. Merekalah yang menyebarkan alat tenun itu ke desa-desa lengkap dengan benang yang telah diwarnai dan terpola.