Deretan kasus yang kini menjerat Rizieq itu bukanlah hasil kriminalisasi bim salabim aba kadabra. Semua kasus yang menjadikan Rizieq tersangka ataupun baru tercatat di laporan polisi jelas dan bisa ditelusuri latar belakangnya. Kalau Rizieq sebelumnya tidak tersangkut kasus-kasus yang dilaporkan itu, tentulah laporan atau kasus pelaporan itu tidak akan ada.
Oleh karena itu, kalau memang Rizieq merasa benar dan tidak bersalah seharusnya dia berani menjalani pemeriksaan hukum dan persidangan di pengadilan. Itulah yang seharusnya dilakukan seorang warga negara yang baik. Di situlah dia bisa membuktikan kalau memang dia benar-benar tidak bersalah.Â
Tindakan pergi umroh dan akhirnya tinggal di negara Timur Tengah, tidak segera balik ke Indonesia dan akhirnya menjadikan dia berstatus buronan, jelas bukan langkah yang bijak. Selain bisa menimbulkan anggapan bahwa dia sengaja kabur untuk menghindari sanksi hukum, tindakannya itu menimbulkan cibiran dan sikap sinis di kalangan masyarakat yang menjunjung tinggi hukum.
Munculnya karikatur di Tempo yang akhirnya ditanggapi dengan demo oleh para pendukung Rizieq, tidak bisa lepas dari situasi yang muncul di masyarakat atas sikap Rizieq itu. Jika memang dia tidak bersalah, silakan pulang ke Indonesia dan buktikan di persidangan nanti. Sikap inilah yang ditunggu masyarakat banyak, dan para pendukung Rizieq tidak perlu kehilangan muka karena pemimpinnya berani pulang dan berani membuktikan di persidangan bahwa dia tidak bersalah.
Tetapi kenyataannya tidak demikian. Rizieq dari tempatnya di Timur Tengah sana malah terus menyuarakan seruan jihad, revolusi, dan seterusnya. Jadi, sebenarnya memang wajar saja jika ada yang menilai Rizieq tidak punya itikad baik untuk menyelesaikan kasus hukum yang menjerat dia. Yang muncul justru ibarat suara tokek antara pulang dan tidak pulang.
Tempo sebagai media pemberitaan tentu tidak akan bisa berlepas diri dari peristiwa dan situasi di masyarakat terkait Rizieq ini. Munculnya karikatur orang bersorban (digambarkan terlihat dari belakang)  yang terlibat dialog dengan seorang wanita (digambarkan duduk berhadapan) dengan dialog (L) "Maaf... saya tidak jadi pulang" yang dibalas (W) "Yang  kamu lakukan ini JAHAT", langsung dinilai pendukung Rizieq sebagai pelecehan terhadap pimpinannya.
Situasi buruk semacam itu bisa terus berulang yang melibatkan pendukung Rizieq dengan elemen masyarakat yang lain. Sikap pendukung Rizieq adalah sikap mempertahankan pandangan bahwa pimpinannya jadi korban penzaliman dan tidak akan bisa menerima pandangan yang berbeda dari kelompok masyarakat yang menilai Rizieq tidak gentleman.
Oleh karena itulah, setelah membaca artikel "Berkunjung dan Bercengkrama dengan Habib Rizieq di Mekkah", saya langsung teringat kasus yang menimpa Tempo Jumat lalu itu. Dalam situasi yang masih dipenuhi rasa prihatin atas demo kasar ke Tempo itu.Â
Sayang, saya gagal memahami makna khusus yang hendak disampaikan itu. Yang muncul di otak saya justru pertanyaan, "Kapan Rizieq berani pulang".
Salam salaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H