Suasana tampak riang di lingkungan Pasar Muara Enim, Jumat pagi 9 Maret Lalu. Ketua Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan tampak menyapa penjual sayuran yang  naik angkutan umum. Di sampingnya tampak calon bupati Muara Enim Syamsul Bahri. Di akhir dialog itu, Zulkifli Hasan tampak memanggil 'anak buah' minta duit. Si anak buah tampak mendatangi sambil menyerahkan uang ratusan ribuan, yang lima lembar di antaranya diserahkan ke ibu-ibu tadi.
Perjalanan Zulkifli Hasan dilanjutkan dengan berjalan kaki. Tampak sekali dia menikmati momen itu, bertanya ke Syamsul Bahri apa nama tempat yang dikunjunginya itu. Syamsul Bahri menyebut nama Pasar Muara Enim. Mereka pun lantas berselfi dengan hape Zulkifli Hasan. Momen yang indah itu tentu saja tidak luput dari kamera wartawan.Â
Itulah cuplikan adegan dalam video berdurasi 15 menit lebih, yang beredar di media sosial yang baru saya lihat pagi tadi. Video yang sebenarnya biasa saja yang memperlihatkan kunjungan seorang politikus ke sebuah daerah. Ya seperti itu. Namun, hal itu menjadi istimewa karena Muara Enim sedang punya hajatan pilkada dan Syamsul Bahri adalah salah satu calon bupati. Lebih istimewa lagi karena dia mendampingi Zulkifli Hasan bagi-bagi uang ke ibu-ibu tadi.
Kejadian itu pun akhirnya dilaporkan ke panwaslu setempat sebagai sebuah dugaan politik uang. Ini jelas persoalan menjadi tidak indah dan nyaman lagi. Politik uang itu kalau terbukti ancaman hukumannya cukup berat, minimal 3 tahun dan maksimal 6 tahun penjara, baik pemberi maupun penerimanya. Ketentuan itu diatur dalam UU No 10 Tahun 2016 Pasal 187A.
Ini tuduhan dengan ancaman hukuman yang tidak main-main. Apalagi Zulkifli Hasan ternyata sempat disebut termasuk anggota tim pemenangan calon bupati Syamsul Bahri. Jelas ini masalah sangat menarik dan menimbulkan banyak tanya. Apa benar Zulkifli Hasan sedang uji nyali? Atau, apakah Zulkifli Hasan tidak tahu ancaman hukuman bagi-bagi uang di tengah momen pilkada seberat itu.
Berdasarkan berita yang dimuat rmolsumsel.com, Senin 12/3/2018 kemarin, ada sedikit kejelasan soal Zulkifli Hasan bagi-bagi uang itu. Misal, Ketua DPD PAN Muara Enim Nazori menyatakan kunjungan Zulkifli Hasan itu dalam rangka Safari Kebangsaan, yang salah satu agendanya blusukan ke pasar. Syamsul Bahri yang tampak mendampingi Zulkifli Hasan, Â hadir sebagai undangan dari PAN.
Sementara Komisioner KPU Isa Ansyori memgatakan, dia ditanya panwaslu soal perubahan susunan tim kampanye Paslon nomor urut I di mana nama Zulkifli Hasan tidak ada lagi. Dia menyatakan nama Zulkifli Hasan di awal pendaftaran memang tercantum, namun susunan tim itu direvisi oleh timses satu hari sebelum tanggal pelaksnaan kampanye. Â [1]
Kasus itu masih berjalan dan Panwaslu Muara Enim, hari ini, rencananya masih akan memanggil  calon bupati Syamsul Bahri, Ketua PAN Zulkifli Hasan, wartawan yang merekam video tersebut dan juga PPL Pasar Dua dan Panwascam Muara Enim. Tulisan ini tak hendak mencampuri urusan itu.
Kejadian di Muara Enim ini sekali lagi jadi catatan tentang tindakan  Zulkifli Hasan yang kurang bagus untuk ukuran seorang ketua partai dan ketua lembaga terhormat yang bernama MPR. Sebelumnya dia tercatat pernah mengeluarkan pernyataan soal pejabat negara dan kepala daerah akan habis jadi tahanan KPK jika KPK terus gencar OTT. Dia juga pernah meminta KPK menghentikan OTT selama pilkada dan cukup memanggil satu per satu calon kepala daerah.
Itu hanya contoh. Ada beberapa contoh lain, misalnya pernyataannya yang meminta kader PAN rajin shalat di masjid agar suara tak diambil PKS. Pernyataannya itu mengundang banyak cemoohan karena tujuan ibadah shalat ternyata terkait dengan perolehan suara pemilu. Walaupun mungkin pernyataan ini diucapkan dengan nada guyonan, rasanya kok memang tidak tepat.
Persoalan di Muara Enim itu cukup layak dibicarakan karena punya beberapa sisi menarik. Di satu sisi ada upaya pendekatan politikus ke massa akar rumput yang masih menggunakan cara pemberian uang. Di sisi lain, kalangan elit politik katanya sudah sepakat mengikis praktek politik uang, yang diwujudkan dalam sanksi hukum yang cukup berat sebagaimana tercantum di UU No 10 Tahun 2016 Pasal 187A.