Keputusan MK terkait status KPK itu memang tidak berdampak langsung yang menguntungkan Setya Novanto karena sudah berhasil ditangkap KPK dan ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi E-KTP. Tetapi sulit menafikkan pengaruh lobi kelompok Setnov atas lahirnya keputusan itu. Pernyataan Desmon bisa dianggap sebagai penguat kecurigaan itu.
Melihat vitalnya peran MK, sungguh sangat tidak elok jika marwah lembaga ini digerogoti kepentingan politik sektarian semacam itu. Keraguan masyarakat membawa masalah UU MD3 ke MK karena meragukan keadilan lembaga sangat terhormat itu, seharusnya jadi bahan introspeksi kalangan internal MK. Artinya, bersih-bersih diri di MK tidak bisa ditunda lagi.
Inilah realitas MK saat ini yang seharusnya jadi acuan Arief Hidayat untuk mundur secara terhormat demi menyelamatkan marwah MK. Arief Hidayat harus mendengarkan suara hati nuraninya, bahwa dia sudah tidak layak lagi menjabat di MK. Itulah yang kini ditunggu masyarakat banyak, kebesaran dan keberanian seorang Arief untuk mengakui bahwa dia memang pantas lengser dari MK.
Sikap ngeyel jelas bukan pilihan yang tepat saat ini. Sikap ini selain bisa dinilai pantulan pribadi tak berhati nurani dan picik, juga tidak membawa manfaat secara pribadi. Apakah setelah pengaduan terkait tindakannya di grup Whatsapp itu diproses di Dewan Etik MK, dia masih begitu yakin tidak bersalah dan merasa layak tetap menjabat ketua MK?
Etika seharusnya menjadi pegangan dalam banyak persoalan di negeri ini. Banyak orang cakap, cerdik, pandai memegang jabatan strategis atau duduk dalam jajaran elit masyarakat. Tetapi kenyataan menunjukkan bagaimana perilaku mereka kurang beretika, kurang bermalu, adu kuasa, adu pasal undang-undang, lupa kepada jati diri dan kewajibannya.
Kasus ketua MK Arief Hidayat ini hanya salah satu kasus yang pernah melanda MK. Ada noda hitam kasus suap Akil Mochtar, ada juga kasus suap Patrialis Akbar. Keduanya jelas melanggar etika agung seorang hakim MK, negarawan yang keputusannya final dan mengikat. Bisa dibayangkan jika orang-orang seperti mereka tetap menjabat di MK.Â
Kasus Arief Hidayat memang berbeda dengan kasus Akil Mochtar dan Patrialis Akbar. Namun, esensinya pelanggaran etika yang dilakukannya tidak bisa disebut biasa-biasa saja karena juga bisa mempengaruhi kredibilitas MK. Akibat buruk lain adalah keputusan yang diambil lembaga sangat terhormat ini bisa terpolusi pula, seperti kasus putusan terkait KPK dan hak angket DPR itu.
Kini persoalan ini memang bergantung kepada Arief Hidayat. Namun Dewan Etik MK seharusnya bersikap proaktif terkait pengaduan soal tindakan ketua MK itu di grup Whatsapp. Memang keputusan Dewan Etik pada dua kasus pelanggaran yang dilakukan Arief Hidayat terhitung tidak tegas karena hanya memutus sebagai pelanggaran ringan, padahal ini menyangkut katabelece dan "lobi-lobi".
Kalau Arief tetap pada sikapnya dan tidak ada kesadaran untuk mundur dari MK, harapan masyarakat tentunya digantungkan ke Dewan Etik MK. Pertanyaannya, apakah Dewan Etik mau mrmbuka mata hatinya, mendengarkan nuraninya, bahwa MK perlu diselamatkan dari perilaku tercela? Tentu kita masih harus menunggu dengan kepala dingin, walau mungkin aksi demo dipandang perlu agar para beliau itu tergugah kesadarannya.
Akhirnya, alangkah elok jika Arief Hidayat mau mundur dengan sukarela. Ingatlah ucapan ketua MK ini saat Patrialis Akbar ditangkap KPK Januari 2017 lalu, "Ya Allah, saya mohon ampun. Saya tidak bisa menjaga MK dengan sebaik-baiknya."
Salam salaman