Beberapa kesaksian Ma'ruf Amin di persidangan kemarin, misalnya yang menyebut tak perlu memanggil Ahok untuk klarifikasi dan tidak melihat langsung tayangan video, ada yang menilai tidak mencerminkan sikap hati-hati dan adil sebagai seorang ulama dalam memutus sebuah perkara. Penjelasannya terkait hubungan MUI dan GNPF-MUI dan juga FPI, juga ada yang menilai tidak pas karena ada hal yang menunjukkan sebaliknya.
Meski harus ditunggu bukti percakapan telepon antara SBY dan Ma'ruf Amin yang akan ditunjukkkan di persidangan pada waktunya nanti, informasi soal telepon SBY itu seperti menegaskan kebenaran pendapat yang menyebut ada rekayasa dalam segala hiruk pikuk kasus penistaan agama yang ditimpakan ke Ahok (dengan aksi turunan demo berjilid-jilid, juga penumpang gelap gerakan makar).
Bukti adanya percakapan telepon itu, juga bisa dipakai untuk memahami isi pernyataan SBY pada konferensi pers di Cikeas pada 2/11/2016, dua hari menjelang demo 411. Hal itu juga bisa dipakai untuk memahami istilh "Lebaran Kuda" yang diutarakan saat itu. Termasuk juga penyebab demo jilid selanjutnya yaitu aksi 212 yang begitu meriah hingga diklaim diikuti 7 juta manusia, atau aksi subuh berjamaah, dan yang lain.
Tentu saja, agar bukti telepon itu mempunyai kekuatan legal formal, harus ditunjukkan di depan persidangan sebagai bukti. Persoalannya, apa yang terjadi setelah bukti itu ditunjukkan dan sah secara secara hukum. Ma'ruf Amin bisa terkena pasal memberikan keterangan palsu di persidangan, karena membantah adanya telepon dari SBY dan permintaannya terkait pertemuan Agus-Sylvi di kantor PBNU dan permintaan agar fatwa terkait kasus Ahok segera dikeluarkan.
Ketetapan Pasal 242 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ayat 1 dan 2, berbunyi:
Ayat 1, “Barangsiapa dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan ataupun tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.”
Ayat 2, “Jika keterangan palsu di atas sumpah diberikan dalam perkara pidana dan merugikan terdakwa atau tersangka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.”
Dalam penerapannya, hakim ketua secara ex officio (karena jabatannya) memperingatkan saksi tersebut untuk memberikan keterangan yang benar dan juga mengingatkan akan adanya sanksi pidana apabila saksi tersebut tetap memberikan keterangan palsu.
Dalam persidangan kasus Ahok Selasa kemarin, Ketua Majelis Hakim Dwiarso Budi Santiarto juga telah mengingatkan Ma'ruf Amin bahwa dirinya dapat dipidana jika memberikan kesaksian palsu. "Saksi sudah disumpah beri keterangan jujur. Kalau tidak, ada konsekuensi hukumnya dan bisa dituntut beri keterangan palsu di bawah sumpah," kata Dwiarso. (kompas.com, 31/1/2017)
Sebenarnya, apabila saksi tetap mempertahankan keterangan palsunya, maka hakim ketua secara ex officio (karena jabatannya), atau atas permintaan jaksa penuntut umum atau terdakwa (maupun penasihat hukumnya) dapat memberi perintah agar Ma'ruf Amin ditahan. Dwiarso tidak melakukan itu sangat mungkin karena belum ditunjukkannya bukti percakapan telepon itu di persidangan.
Dengan kata lain, tidak diperlukan adanya suatu laporan pidana terlebih dahulu sebelum majelis hakim mengeluarkan penetapan untuk menahan saksi yang diduga bersumpah palsu tersebut. Tentunya dengan ketentuan bahwa sebelumnya hakim harus memperingatkan saksi tersebut untuk memberikan keterangan yang benar dan mengingatkan adanya saksi pidana, dalam hal saksi tersebut tetap memberikan keterangan yang palsu (tidak benar). (m.hukum online.com, 5/3/2013)