Pada 1 Februari 2009, di Gedung Kanisius, Jakarta, dalam Sarasehan Kebangsaan "Meneguhkan Kembali Keindonesiaan dalam Politik dan Pemilu 2009", pengamat politik CSIS J Kristiadi menyebut "taktik dizalimi" diterapkan Susilo Bambang Yudhoyono untuk mendongkrak popularitasnya, terkait relasinya dengan Megawati Soekarnoputri. Ternyata taktik ini terus berulang, baik oleh SBY maupun pihak lain. Masihkah rakyat percaya dengan taktik semacam itu?
J Kristiadi saat itu secara gamblang menyebut pola-pola dizalimi itu dijadikan alat lagi untuk mengangkat dia (SBY) dan membuat orang menjadi simpatik padanya. Termasuk isu "asal bukan S", yang secara spesifik menuduh TNI AD bermain di belakangnya. Saat itu, ada tiga mantan petinggi TNI yang akan maju dalam pilpres, yaitu Wiranto, Prabowo, dan Sutyoso.
Hal itu dinilainya akan memunculkan stigma di tubuh TNI mengapa tega-teganya menjual TNI. "Ini memecah aparatnya yang seharusnya menjadi sandaran dan pilar kekuatannya. Panglima tertinggi kok meragukan panglimanya itu." (kompas.com, 2/2/2009)
Masih pada tahun yang sama, tepatnya 30 Oktober 2009, Tifatul Sembiring yang menjabat Menkominfo juga menyatakan SBY merasa dizalimi atas disebutnya namanya dalam rekaman rekayasa kasus kriminalisasi pimpinan KPK Bibit Slamet Rijanto dan Candra Hamzah.Â
Nama RI-1 disebut-sebut dalam transkrip percakapan yang diduga Anggodo Widjojo dengan sejumlah orang, termasuk pejabat di Kejaksaan Agung dan Polri. Anggodo adalah adik Anggoro Widjojo, tersangka kasus korupsi proyek Sistem Komunikasi Radio Terpadu di Departemen Kehutanan.
Pada, 9 Februari 2014, di peringatan Hari Pers Nasional di Bengkulu, SBY juga mengkapkan perasaan dizalimi oleh media. Selama 10 tahun menjadi presiden, pers kerap sinis dan kurang bersahabat. "Selalu ada kritikan dan pergunjingan pada saya dan keluarga," kata SBY.Â
Keluhan senada juga pernah diutarakannya pada PP PWI di Banjarbaru, Kalimantan Selatan tahun 2013. SBY merasa dipojokkan dan "digebuki" oleh pemberitaan di media massa. SBY juga menyebut dirinya sebagai "korban pers". (tempo.co, 9/2014)
Masih ada lagi beberapa pernyataan "terzalimi" sesudah itu yang dilontarkan SBY baik terkait tuduhan usulan pembubaran Petral yang macet di masanya, sampai urusan TPF Munir, rumah pemberian negara, sampai tudingan penyandang dana demo. Itulah mengapa ada yang menilai SBY cuku akrab dengan curhat terzalimi dari dulunya.
Rupanya urusan merasa dizalimi ini bukan hanya dari SBY. Beberapa tokoh lain juga mengutarakan pernyataan merasa dizalimi atas kasus yang menimpa mereka. Akhir-akhir ini, setidaknya ada empat orang yang juga merasa dizalimi setelah mereka terlibat perkara, baik urusan korupsi, penistaan agama, penistaan Pancadila, dan tindakan lain yang terkait penegakan hukum.
Mereka adalah Patrialis akbar, mantan hakim konstitusi, Riziek Shihab FPI, Buni Yani dosen pengunggah video dugaan pelecehan Alquran oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama (Ahok), dan Sylviana Murni cawagub DKI yang kini berurusan dengan poisi karena kasus pembangunan masjid dan dana hibah untuk pramuka.
Patrialis akbar mantan hakim konstitusi yang terkena OTT KPK itu dengan lantang menyatakan "Demi Allah saya betul-betul dizalimi. Nanti kalian bisa tanya sama Basuki. Bicara uang saja saya nggak pernah. Sekarang saya jadi tersangka. Bagi saya ini adalah ujian, ujian yang sangat berat." (detik.com, 27/1/2017)