Mohon tunggu...
mohammad mustain
mohammad mustain Mohon Tunggu... penulis bebas -

Memotret dan menulis itu panggilan hati. Kalau tak ada panggilan, ya melihat dan membaca saja.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Korupsi di Daerah Tetap Marak, Apa Peran Wartawan?

31 Desember 2016   13:50 Diperbarui: 31 Desember 2016   15:03 691
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bupati Klaten Sri Hartini yang terkena OTT KPK. foto: tribunnews.com

Pagi tadi, saya tersenyum melihat status Facebook seorang wartawan setengah tua yang masih aktif. Dia mengunggah foto lama kawan-kawan seperjuangan dalam menebar warta. Ya, saya memang pernah mengenal dan tahu siapa para wartawan setengah tua itu. Di daerahnya, mereka cukup punya nama. Ada juga yang cukup dikenal di Indonesia karena mendirikan portal berita online yang ternama.

Tetapi, ada yang mengusik nurani saya. Ini karena sejak beberapa waktu lalu banyak pejabat di daerah setingkat bupati yang di-OTT Komisi Pemberantasan Korupsi. Jangan salah paham dulu, yang di-OTT itu bukan di daerah wartawan setengah tua itu --meski di lapas daerah itu ada mantan bupati, mantan ketua dprd, mantan Sekda, yang terjerat kasus korupsi juga.

Bupati Klaten Sri Hartini yang terkena OTT KPK. foto: tribunnews.com
Bupati Klaten Sri Hartini yang terkena OTT KPK. foto: tribunnews.com
Yang saya maksud adalah Subang, Banyuasin, Cimahi, Madiun, Nganjuk, dan terakhir Klaten. Bupati atau walikota daerah-daerah itu telah ditangkap KPK. Ini menambah panjang daftar bupati, walikota, atau pejabat daerah lain yang terjerat kasus korupsi yang seolah tak ada habisnya itu.

Korupsi di daerah itulah yang mengusik nurani sehingga saya sempat bertanya, apa peran yang telah dimainkan wartawan agar korupsi tidak merajalela. Itulah yang mengubah senyum saya saat melihat foto yang ditayangkan oleh wartawan setengah tua tadi, jadi pudar. Ada sesuatu yang salah ketika korupsi marak terjadi tetapi kehadiran wartawan tak punya peran mengerem aksi itu.

Sebelum wartawan setengah tua itu mengapload foto di Facebook, iseng-iseng, Jumat kemarin saya lempar pertanyaan ke Facebook, apa hubungan pejabat korup dan wartawan. Pertanyaan yang kurang disenangi (mungkin), dan responnya juga tak terlalu banyak karena saya memang tak begitu aktif di medsos itu. Tetapi, ada juga yang menanggapi.

Ada yang menyebut ada dua golongan wartawan, yaitu wartawan sahabat pejabat korup dan wartawan musuh pejabat korup. Ada yang menyebut wartawan itu seperti dua sisi koin mata uang, satu berwajah anti korupsi dan satu berwajah pro korupsi, tinggal pilih yang mana. Tetapi ada juga kelakar cerdas yang menyebut wartawan itu "salah satu pilar korupsi...ehh demokrasi".

Sebenarnya peranan wartawan dalam mengerem laju korupsi di daerah (perannya saya nilai sekedar mengerem karena wartawan itu hanya pewarta) sudah sejak lama dipertanyakan. Dahulu, sebelum KPK lahir dan penguasa daerah adalah wakil raja besar di Jakarta, korupsi itu jadi masalah ketika dinilai menimbulkan kehebohan dan instabilitas di daerah. Karena itu, seolah ada moto "yang penting ojo rame-rame yo, engkok tak bagei".

Setelah era otonomi daerah yang melahirkan raja-raja kecil, korupsi makin merajalela karena raja besar di Jakarta sudah tak ada. Sementara itu, KPK yang dibentuk di era Presiden Megawati masih sibuk dengan dirinya sendiri dan musuh-musuhnya di Jakarta. Dan, jadilah masa-masa itu masa keemasan dinasti politik dan raja-raja kecil yang bermain dengan leluasa di daerahnya.

Lantas, apa peran yang dimainkan wartawan? Inilah pertanyaan pokoknya. Tulisan ini jauh dari maksud menyudutkan peran wartawan dalan persoalan korupsi. Ada pendapat yang menilai wartawan adalah sekedar pewarta, tak lebih dari itu. Inilah pendapat yang jadi acuan.

Wartawan adalah pewarta, bukan politikus, kontraktor, atau makelar kasus. Dengan memainkan peranan sebagai pewarta, sebenarnya kontribusi wartawan dalam mengerem laju korupsi cukup besar karena informasi yang disajikannya itu bisa menarik tindakan hukum terhadap pelaku korupsi.

Pertanyaan berikutnya adalah apakah wartawan sudah memberitakan tindak korupsi sebagaimana kewajibannya sebagai pewarta? Di sinilah masalahnya. Tidak terberitakannya sebuah kasus korupsi di daerah memang ada beberapa sebab. Di antaranya, kemampuan investigasi wartawan tidak memadai atau ada tawar-menawar antara pelaku korupsi dan wartawan.

Dua masalah itu sudah ada dari dahulu kala, seperti dua sisi koin mata uang. Perbedaannya sekarang adalah kini jumlah wartawan itu berlipat-lipat dan semua butuh makan dan penghidupan yang layak. Sementara itu, perusahaan  media tempat bernaung banyak yang sekedar memberi kartu pengenal saja. Urusan perut dan kesejahteraaan wartawan, silakan pikir sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun