Di sudut kanan tanah lapang itu, memang tampak sebidang tanah yang dibatasi pagar tembok rendah. Di situlah Pangeran Singonegoro, salah satu panglima perang Sultan Agung raja Mataram, dimakamkan. Pangeran Singonegoro dalam sejarah Tuban, juga disebut keturunan Sayyid Abdullah Asy'ari atau Sunan Bejagung Lor, Semanding Tuban. Di kawasan Jetak dan sekitarnya itu Pangeran Singonegoro melakukan syiar Islam.
Karena banyak kelebihan yang dimiliki, baik karena hidayah maupun karomah dari Allah, warga Montong menganggap Pangeran Singonegoro seorang wali Allah, Â Soal Pangeran Singonegoro sampai ke daerah itu, belum jelas benar. Namun warga setempat menyebut hal itu ada kaitannya dengan kekalahan pasukan Mataram saat melawan Belanda. Tetapi di buku sejarah resmi, kekalahan Mataram pada saat Sultan Agung menjadi raja adalah ketika melakukan penyerbuan ke Batavia (1628-1629).Â
Sementara Sayyid Abdullah Asy'ari hidup semasa Majapahit. Sayyid Abdullah Asy'ari terhitung adik Sayyid Ibrahim Asmoroqondi, ayah R. Rahmat atau Sunan Ampel, yang datang ke Majapahit pada 1443. Kalau melihat tahun sejarah itu, ada selisih waktu hampir dua ratus tahun antara Sayyid Abdullah Asy'ari dan P. Singonegoro.Â
Pak Tua itu entah tahu atau tidak soal sejarah resmi itu. Tetapi, yang pasti dia menegaskan kealiman dan kewalian P. Singonegoro yang sangat dihormati warga sekitar. "Tiap tahun nggeh enten peringatan khol ten mriki. Sing ndugi tiyang katah, Pak Bupati nggih ndugi, wonten pengajian ten mriki (Setiap tahun ada peringatan khol di sini. Yang datang orang banyak, Pak Bupati juga datang. Ada pengajian di sini)."
Sambil mengucapkan terima kasih, saya kembali ke tempat istri saya menikmati pentolnya. Dua lelaki dewasa yang tadi sempat berbicara dengan penjual pentol terlihat berjalan menuju areal makam. Entah apa yang mereka bicarakan di sana, saya tak tahu. Â Karena penasaran, saya akhirnya mendekati areal pemakaman namun tetap di luar pagar.Â
Kedua lelaki itu tampak duduk dan berdoa. Di areal itu ada empat makam yang batu nisannya dibungkus kain hijau, tampaknya cukup terawat. Hanya sebentar mereka berdoa dan lantas mereka berdiri.
Sebagai rasa hormat pada para aulia dan para alim, syuhada yang berjuang di jalan Allah P. Singonegoro dan tiga kerabatnya yang dimakamkan di situ, sambil berdiri di dekat pagar makam, saya baca Al- Fatihah untuk mereka. Tentunya, saya awali dulu dengan bacaan Al-Fatihah untuk Rasulullah Muhammad SAW.
Setelah kembali ke tempat istri saya yang masih asyik dengan jajanan pentol seharga Rp 5.000 itu, saya mendapati cerita menarik. Kata penjual pentol yang rupanya warga Desa Jetak, biasanya memang ada beberapa orang yang berdoa di makam itu. Kalau harapannya terkabul, orang itu akan mengadakan selamatan di tempat itu.
Tapi tak semua pengunjung berbuat seperti itu. Banyak juga yang datang memang sekedar untuk menikmati keindahan air terjun Bongok. Pada saat musim liburan sekolah, tempat ini katanya cukup banyak. Pada saat itulah, biasanya dikenakan tarif karcis masuk Rp 2.000 per orang. Di luar itu, seperti saat kami datang itu ya gratis.
Mungkin karena lokasi air terjun Bongok yang cukup terpencil, Â dia tak sepopuler air terjun Nglirip. Â Namun, melihat suasananya yang sejuk dengan pepohonan besar, angin sepoi-sepoi basah, ada juga kera yang tampak malu-malu memperlihatkan diri, lokasi ini cukup layak dikunjungi.Â
Soal mistisme air terjun Bongok dan Pangeran Singonegoro, Â konon ada juga sekelompok orang "waras" yang hobi mencari sensasi adrenalin ala acara reality show televisi tentang dunia lain itu. Malam-malam mereka konon datang ke tempat ini untuk menangkap kegaiban di sana.Â