Udara sangat sejuk, angin sepoi-sepoi basah. Udara hutan hujan cukup terasa, mungkin karena tempat itu tak jauh dari air terjun dan sumber air. Â Di situlah tempat pengunjung biasanya memarkir kendaraannya, atau beristirahat sejenak untuk melepas lelah. Air terjun Bongok letaknya di balik tanah lapang ini, melewati jalan yang diapit tebing juga namun tak terlalu jauh.
Terus terang saya terpesona dengan pepohonan tinggi di tempat itu. Setelah memarkir sepeda, sementara istri melepas lelah, saya sempatkan mengambil gambar pohon besar itu dari beberapa sudut. Tapi dasar fotografer amatiran, tak ada gambar saya yang cukup mempesona. Tapi ya, lumayanlah untuk sekedar memenuhi rasa terpesona saya.
Di tempat itu, waktu kami datang sekitar pukul 11.00 hanya ada penjual makanan penthol dan seorang lelaki tua yang sedang mencuci pakaian di bocoran pipa air di sudut kiri tanah lapang itu, di belakang rumah pompa air. Tetapi ada beberapa motor yang diparkir di situ. Jadi sangat mungkin ada wisatawan macam kami  di air terjun.
Akhirnya, kami pun berjalan kaki melewati jalan menurun ke arah air terjun. Belum lama berjalan, tampak dua orang ibu bersama seorang anak yang rupanya warga setempat, baru balik dengan membawa kain cucIan. Sang bocah tampak memegang satu renteng ikan kecil-kecil hasil perburuannya di sungai di bawah air terjun. Entah mengapa, saya kok tidak berusaha memotretnya. Belakangan saya benar-benar merasa menyesal.
Ah, memang indah air terjun Bongok, walau tak terlalu tinggi tapi sungguh punya keindahan tersendiri. Ada empat pemuda tampak asyik menikmati keindahan air terjun sebelah kanan. Salah seorang di antaranya rupanya sedang merekam, sementata seorang lagi tampak asyik sendirian di depan air terjun, tak jauh dari kayu besar itu.
Saya dan istri pun larut dalam keasyikan memotret pemandangan indah dan elok dipandang itu. Kalau saya bandingkan dengan foto-foto yang beredar di internet, tampaknya akhir Oktober bukan bulan yang cukup memberikan debit air yang besar pada air terjun itu. Januari atau Februari pasti air yang jatuh pasti jauh lebih besar. Tetapi, saya tetap bersyukur setidaknya saat itu tak hujan sehingga kami bisa menikmati pemandangan dengan aman-aman saja, Â jalanan juga tak perlu becek karenanya.
PANGERAN SINGONEGORO PANGLIMA PERANG MATARAM
Setelah puas foto-foto (kami tak main air takut basah....hehehe) kami pun balik ke tanah lapang dengan pepohonan tinggi menjulang tempat motor parkir. Rupanya ada rombongan pemuda remaja dari Lamongan yang baru datang. Ada juga dua lelaki dewasa sekitar usia tiga puluhan, yang tampak asyik ngobrol dengan penjual pentol. Pak tua yang mencuci pakaian masih asyik di tempatnya.
Karena kelaparan, istri saya memutusan membeli pentol untuk mengganjal perut. Untuk minum, kami sudah membelinya di mini market di Merak Urak. Namanya orang lapar, udara cukup sejuk, angin sepoi-sepoi, makan tentu akan terasa enak. Namun, saya pesan agar makanan pentol seharga Ro 5.000 itu tak diberi saos merah menyala, cukup pakai kecap saja. Saya sendiri tak terlalu berminat.