Mohon tunggu...
mohammad mustain
mohammad mustain Mohon Tunggu... penulis bebas -

Memotret dan menulis itu panggilan hati. Kalau tak ada panggilan, ya melihat dan membaca saja.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Di Balik "Jurus Mabuk" Kontras ke Jokowi

27 Oktober 2016   21:55 Diperbarui: 27 Oktober 2016   22:03 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kontras juga memendam kekecewaan dan penolakan atas sikap pemerintahan Jokowi dalam kasus "komunis phobia" baru-baru ini dan pelaksanaan hukuman mati atas bandar narkoba. Dua hal itu mereka nilai sebagai tidak dijalankannya pengakuan dan penghargaan atas hak asasi manusia.

Kontras mengecam Presiden Jokowi yang mereka nilai telah memerintahkan penegak hukum menindak segala macam bentuk komunisme. Hal itu bisa dijadikan alat pembenar bagi siapapun di daerah atau di lapangan untuk saling tuduh dan berujung konflik atau kekerasan. Ini bisa memicu aksi main hakim sendiri.

Dalam persoalan hukuman mati, Kontras memang konsisten menyuarakan penolakannya. Karena itu,  ketika pemerintahan Jokowi tetap menghukum mati para gembong narkoba termasuk yang PK lagi, mereka tentu meradang. Apapun, pelaksanaan hukuman mati dalam kaca mata kontras tetaplah tidak benar.

Dari serangkaian penyebab itu, ditambah belum adanya kemajuan berarti dalam upaya penuntasan  kasus-kasus pelanggaran HAM, wajar jika Kontras juga menilai selama dua tahun pemerintahan Jokowi, penegakan hukum berjalan di tempat. Terlebih lagi usulan Kontras agar Jaksa Agung Prasetyo diganti juga tak mendapat respon dari Jokowi.

Khusus terkait Jaksa Agung Prasetyo, Kontras memiliki catatan khusus sehingga dia harus diganti karena gagal menegakkan HAM dan memberantas korupsi (pernyataan ini mereka release pada 25 Oktober 2015). Padahal  Jaksa Agung merupakan ujung tombak bagi agenda bidang penegakan hukum, HAM dan pemberantasan korupsi dari pemerintahan Jokowi-JK. 

Di bidang hukum dan HAM, Prasetyo dinilai gagal. Di antaranya, penyidikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang tidak dilakukan oleh Jaksa Agung. Selama 13 tahun (2002-2015), Jaksa Agung tidak pernah mau melakukan penyidikan atas 7 berkas perkara pelanggaran HAM berat yang telah selesai diselidiki oleh Komnas HAM.

Jaksa Agung selalu mengembalikan berkas penyelidikan Komnas HAM dengan berbagai macam alasan yang berubah-ubah, dan alasan yang digunakan bertentangan dengan sejumlah undang-undang serta putusan Mahkamah Konstitusi.  

Jaksa Agung HM Prasetyo juga dinilai melakukan penyalahgunaan wewenang dengan membentuk tim kasus masa lalu untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat melalui rekonsiliasi atau proses penyelesaian di luar hukum. Tindakan Jaksa Agung tersebut bertentangan dengan tugas dan wewenang Kejaksaan.

Selain itu, YLBHI bersama Koalisi Masyarakat Sipil Anti-Kriminalisasi (TAKTIS), menilai Jaksa Agung memiliki peran sentral atas kriminalisasi terhadap puluhan orang pasca penetapan Komjen BG sebagai tersangka dugaan tindak pidana korupsi pada 13 Januari 2015. Ada 49 orang diperiksa, ditangkap, ditahan, ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri, sebagai urutan peristiwa yang saling terkait dan terstruktur. Kriminalisasi dilakukan terhadap lembaga KPK, Komisi Yudisial, Komnas HAM para Dosen, Mantan Hakim Agung serta pegiat/aktivis antikorupsi, secepat kilat setelah ke-49 orang tersebut merespon, mengkritik, dan menyoroti penetapan Komjen BG sebagai tersangka dugaan tindak pidana korupsi.

Sebut saja, nama-nama seperti Bambang Widjojanto, Abraham Samad, Denny Indrayana, Tempo (media massa), Suparman Marzuki, Taufiqqurohman Syahuri, Direktur bidang KPK, dll. Apa kaitannya kriminalisasi ini dengan Jaksa Agung? Paling tidak ada alasan nyata bahwa Kejaksaan di bawah Jaksa Agung memiliki peran signifikan untuk "mengendalikan" perkara sejak awal pemeriksaan oleh kepolisian.

Dengan mengacu pada fakta itu, terasa wajar jika Kontras lebih condong ke kinerja SBY dalam penegakan hukum. Itu juga termasuk ketika Haris Azhar koordinatornya memuji SBY dan mengkritik Jokowi dalam kasus Munir. Pernyataan itu bisa jadi merupakan akumulasi kekecewaan yang telah menumpuk. Bisa juga karena faktor penanganan kasus wasiat Fredi Budiman gembong narkoba yang telah dihukum mati, yang menyebut ada oknum di TNI, Polri, Bea Cukai, BNN, di belakang aksinya selama ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun