Mohon tunggu...
mohammad mustain
mohammad mustain Mohon Tunggu... penulis bebas -

Memotret dan menulis itu panggilan hati. Kalau tak ada panggilan, ya melihat dan membaca saja.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gelar Doktor dan Korupsi Gubernur Nur Alam

26 Agustus 2016   15:14 Diperbarui: 26 Agustus 2016   15:37 1298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selasa lalu (23/8/2016), KPK menetapkan Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam sebagai tersangka korupsi penyalahgunaan pemberian izin pertambangan nikel di dua kabupaten di Sulawesi Tenggara. Dan, Kamis kemarin (25/8/2016), Nur Alam memperoleh gelar doktor dari Universitas Negeri Jakarta,  setelah lulus ujian disertasinya, dengan predikat suma cumlaude, dengan nilai 3,9.

Dua peristiwa yang berurutan yang dialami dan dijalani Nur Alam itu, terasa kontras sekali, seperti dua kutub yang berlawanan. Status tersangka korupsi adalah status yang merendahkan karena dinilai menjadi maling kekayaan negara, sementara gelar doktor yang disandangnya setelah lulus ujian adalah gelar terhormat atas penguasaan ilmu pengetahuan yang ditekuninya.

Keadaan ini tampak seperti sebuah ironi. Tindakan maling kekayaan negara yang menyebabkannya menyandang status tersangka korupsi, berjalan berdampingan dengan gelar doktor yang diterimanya dan tidak saling mempengaruhi. Tak ada korelasi antara tindakan korupsi dengan gelar akademik yang baru saja diterimanya. 

Jikalaupun dipaksakan ada hubungan, mungkin terletak pada kecanggihan dan sentuhan intelektualitas saat melakukan korupsi, yang membedakannya dengan maling ayam misalnya. Karena itu, kejahatan korupsi yang dilakukan orang cerdik pandai semacam Nur Alam dikategorikan kejahatan kerah putih.

Tak adanya korelasi tindakan korupsi atau permalingan uang dan kekayaan negara dengan gelar akademik seseorang, bisa dibuktikan dengan jumlah profesor, doktor, magister yang terlibat korupsi. Artinya meski seseorang menyandang gelar terhormat dan tinggi secara akademik, tidak menjamin dia tak melakukan korupsi. 

Hal ini menarik untuk dikaji dan dipertanyakan, apa peran yang telah dilakukan perguruan tinggi dalam perang melawan korupsi yang telah menggerogoti negeri ini. Benarkah tidak perlu ada intervensi perguruan tinggi atas pelanggaran moral dan etika yang dilakukan penyandang gelar akademik, terkecuali menyangkut keilmuan dan proses memperoleh gelar itu, misalnya plagiat atau tidak? 

Jawaban pertanyaan itu, hingga kini masih belum jelas benar. Beberapa perguruan tinggi bersikap tegas dengan mencoret alumninya yang terlibat korupsi, dan beberapa perguruan tinggi lain tidak mau melakukannya dengan dasar korupsi adalah pelanggaran etik dan moral, sementara gelar akademis berkaitan dengan penguasaan ilmu pengetahuan.

Rektor Universitas Padjadjaran Bandung Prof Tri Hanggono Ahmad misalnya masuk dalam barisan yang setuju jika kampus menghapus para koruptor dari daftar alumni. Dia akan menerapkan kebijaksanaan itu di Universitas Padjadjaran, dan saat wisuda dilaksanakan, salah satu ikrarnya adalah janji tidak melakukan korupsi (kompas.com, 12/5/2016).

Selain Unpad, hal serupa juga disuarakan Universitas Islam Indonesia. Para mahasiswanya mulai 4 Juni para mahasiswa yang lulus dan akan diwisuda, harus menandatangani pakta integritas yang salah satu isinya adalah jika mereka melakuan tindak korupsi atau terlibat narkoba, gelar akademik mereka dicabut. Aturan ini berlaku sejak penandatanganan akta integritas dan tidak berlaku surut.

Jauh sebelum itu, sejak 2011, Binus University telah melakukan kebijakan serupa. Setiap lulusan universitas itu yang melakukan tindak pidana korupsi, gelar akademiknya akan dicabut. Dasar kebijakan ini adalah perguruan tinggi tidak sekedar mengajarkan ilmu tetapi juga karakter yang menyangkut kedisiplinan, kejujuran, dan pendidikan anti korupsi. Kalau lulusan melakukan korupsi, maka dia dinilai gagal mengimplementaikan nilai-nilai perguruan tinggi sehingga ijazahnya pantas dicabut (kompas.com, 27/7/2012).

Tindakan keras pencabutan gelar akademik dan pencoretan sebagai alumni, memang layak dipertimbangkan sebagai kebijakan nasional dan tidak jadi kebijakan kampus per kampus. Ini bisa jadi terapi yang efektif dan selaras dengan pendidikan antikorupsi yang kini mulai diajarkan di perguruan tinggi. 

Adalah memprihatinkan melihat kalangan cendekia dan terdidik dengan gelar profesor, doktor, magister yang terjerat tindak pidana korupsi. Tercatat lebih dari sepuluh profesor yang pernah terjerat korupsi. Juga lebih dari 200 doktor (ada yang menyebut 332 doktor, dan 147 magister), melakukan hal yang sama. 

Misalnya, Profesor I Made Titib (IHDN/Bali), Prof Dr Rahardi Ramelan (ITS), Prof Dr Fasichul Lisan, MA (Unair), Prof Dr Edy Yuwono (Unsoed), Prof. Daan Dimara (Uncen), Prof. Dr Nazaruddin Sjamsuddin, MA (UI), Prof Dr Burhanudin Abdullah (Unpad), Prof Dr Rokhmin Dahuri (IPB), Prof Dr Rudi Rubiandini (ITB), Prof Dr H Abdus Salam (IAIN Cirebon), Prof Dr Zarkasih Anwar, Sp.A(K) (Universitas Sriwijaya), Pr. Dr Miranda S. Goeltom, SE, MBA (UI), Dr Tafsir Nurchamid (UI), Prof Dr Mansur Ramli (Kemendikbud)

Banyak nama tenar lain bergelar doktor juga tersangkut perkara ini, misal Anas Urbaningrum doktor ilmu politik dari Unair, Andi Malarangeng doktor ilmu politik lulusan NIU, Illinois, AS. Akil Mochtar mantan ketua MK itu juga doktor ilmu hukum dari Unpad.

Banyaknya orang bergelar akademik tinggi yang tersangkut tindak pidana korupsi itu memang tidak serta merta berhubungan dengan keilmuan mereka. Rata-rata perkara yang menjerat mereka adalah saat bekerja di luar institusi akademik, meski ada juga yang tersangkut perkara korupsi yang bersentuhan langsung dengan tugas di kampus.

Tetapi itu menunjukkan lemahnya penanaman nilai karakter kejujuran dan perilaku anti korupsi di kalangan mereka. Bisa saja itu karena tak tahan menghadapi godaan dan peluang melakukan korupsi, bisa juga karena terbelit sistem yang korup, atau karena ketidakpedulian mereka terhadap tindak korupsi.

Survei yang dilakukan Centre for Strategic and International Studies (CSIS) menemukan data yang cukup mengejutkan, 33 persen orang Indonesia yang bergelar doktor menilai korupsi adalah wajar. Penelitian CSIS yang dirilis 27 Juli 2016 lalu, mengindikasikan pola pikir yang praktis dan tak mau repot, acuh tak acuh terhadap persoalan korupsi yang membelit negeri.

Ini tentu sangat memprihatinkan. Saat ini, beberapa perguruan tinggi memang telah memberikan pendidikan antikorupsi dengan berbagai macam metode, ceramah, diskusi, hingga kajian kasus. Tentunya gerakan ini tidak bisa hanya berjalan di satu dua kampus, tetapi harus menjadi mata kuliah wajib di seluruh perguruan tinggi yang ada di Indonesia. 

Mengacu pada hasil survei CSIS tersebut, sudah seharusnya pendidikan dan penanaman semangat antikorupsi ditindaklanjuti dengan laku nyata, berupa janji nyata tidak melakukan korupsi dan sanksi tegas kepada alumni yang melanggar berupa pencabutan gelar akademis.

PENCABUTAN GELAR TAK BISA DIPAKSAKAN

Kembali ke gelar doktor dan status tersangka korupsi yang kini disandang Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam. Sepintas memang tak ada yang salah dan menjadi hak Nur Alam tang telah susah payah melakukan penelitian dan membuat disertasi untuk gelarnya itu. Tetapi, melihat kaitan pendidikan karakter dan moral yang juga menjadi tugas dan kewajiban perguruan tinggi, tak sekedar pengetahuan, naif sekali jika status tersangka korupsi tak mempengaruhi sikap dan tindakan Universitas Negeri Jakarta atas pemberian gelar itu.

Memang, ujian promosi untuk gelar doktor Gubernur Nur Alam itu telah terjadwal sebelum Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Nur Alam sebagai tersangka. Universitas Negeri  Jakarta mungkin juga telah memperhitungkan konsekuensi hukum, jika sampai menunda atau membatalkan ujian oromosi itu.

Namun, tetap saja kebijakan itu akan menimbulkan pertanyaan, seberapa peduli Universitas Negeri Jakarta dalam pemberantasan korupsi. Apakah status tersangka korupsi tidak membuat Universitas Negeri Jakarta menunda gelar itu? Apakah Universitas Negeri Jakarta akan mencabut gelar itu kalau Nur Alam terbukti bersalah dan dipidana? Jawaban atas pertanyaan itu menggambarkan pandangan perguruan tinggi itu atas masalah korupsi di Indonesia.

Sebenarnya, pendapat tentang gelar akademik yang seharusnya dicabut setelah seseorang terbukti melalukan korupsi yang didasari keputusan pengadilan yang telah berkekuatan tetap, sudah lama didengungan. Langkah yang diambil Binus Universty, Unpad, UII, adalah pilihan dari pandangan yang ada. Memang, belum ada sikap resmi dari Dikti apakah pencabutan gelar semacam itu akan diberlakukan secara nasional.

Perang melawan korupsi tidak bisa hanya dilakukan oleh KPK, Polri, Kejaksaan, yang bermuara di pengadilan. Peran serta masyarakat dan institusi lain termasuk perguruan tinggi sangat diperlukan. Peperangan melawan korupsi tak sekedar penindakan melalui OTT KPK misalnya. Di luar itu ada unsur pencegahan baik melalui perbaikan sistem birokrasi maupun pendidikan antikorupsi.

Perguruan tinggi jelas tak bisa berpangku tangan. Banyaknya kalangan berpendidikan tinggi yang terlibat korupsi, seharusnya bisa membuat perguruan tinggi mereview ulang pandangannya tentang gelar akademik yang sepenuhnya berbasis pengetahuan, dan tak bisa dikaitkan dengan urusan etika dan moral seperti tindak korupsi.

Meskipun demikian kesamaan pandangan dalam persoaan ini tak sepenuhnya bisa diharapkan. Bisa saja perguruan memilih pilihan yang aman, yaitu mengambil tanggung jawab menanamkan nilai moral dan semangat antikorupsi, namun setelah itu menyerahkan sepenuhnya penerapannya kepada alumninya. Perkara mereka tetap melakukan korupsi, itu adakah pilihan alumni yang harus menanggung konsekuensi hukumnya sendiri. 

Pandangan semacam itu sah saja, karena memang tak pernah ada jaminan seseorang yang diajari budi pekerti yang baik, pasti tidak akan jadi orang kriminal di kemudian hari. Tugas perguruan tinggi usai ketika sang mahaiswa diwisuda. Sementara pengusaan ilmu pengetahuan yang diajarkan, dinilai tak terkait standar moral yang dianut alumninya.

Belajar untuk menguasai ilmu pengetahuan memang hak setiap warga negara, termasuk seorang narapidana sekalipun. Karena itulah, banyak napi tak hanya di Indonesia, menjalani masa tahanannya dengan belajar untuk memperoleh gelar. Ini menegaskan gelar akademik sepenuhnya didasari penguasaan ilmu pengetahuan yang diajarkan. Tak peduli apa latar belakang mereka, jika memenuhi persyaratan secara akademik, mereka bisa berkuliah lagi, misalnya di LP Sukamiskin yang diikuti napi koruptor itu.

Akhirnya, persoalan gelar akademik yang disandang para koruptor itu memang bisa dipandang sebagai hak pribadi yang bersangkutan senyampang dia memenuhi persyaratan akademik dan keilmuan. Tesis, disertasi, karya ilmiah mereka adalah kekayaan ilmu pengetahuan yang tentunya tak terpengaruh kecenderungan negatif moral mereka, karena harus melalui saringan ketat ilmu pengetahuan itu sendiri.

Meskipun begitu, banyaknya orang bergelar akademik tinggi yang terlibat korupsi memang seharusnya membuat perguruan tinggi menelaah kembali metode pendidikan moral, etika, semangat anti korupsi kepada mahasiswanya. Mencabut gelar akademik karena perbuatan korupsi alumninya, itu adalah pilihan untuk menimbulkan efek jera.

Namun, pilihan ini agaknya memang sulit dipaksakan sebagai kesepakatan bersama. 

Karena itu, kalau ada orang bergelar profesor, doktor, atau magister jadi koruptor, kita tak usah heboh karena gelar itu tak terkait tindak korupsi mereka. Kita mungkin hanya perlu mengelus dada, mengapa para cerdik pandai kok malah getol korupsi.

Salam damai.

Bacaan pendukung :

regional.kompas.com - regional.kompas.com - edukasi.kompas.com - www.kpk.go.id - m.detik.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun