Risma marah lagi. Sebabnya soal trotoar dan pembangunan di Surabaya yang dikomentari Ahok gubernur DKI Jakarta. Sebenarnya, Ahok memuji keberhasilan Risma membangun Surabaya, termasuk trotoarnya dan ingin belajar untuk diterapkan di Jakarta, tapi dengan lebih cepat karena panjang trotoar yang harus dibangun lebih panjang. Namun, pernyataan itu Ahok itu ditambahi dengan kalimat membandingkan pembangunan di Jakarta dan Surabaya.
Entah apa hanya karena itu, Risma meradang dan menggelar jumpa pers. Jika memang ya, untuk apa kemarahan itu dijadikan konsumi publik, demi harga diri atau memang bentuk komunikasi politik menuju pilgub DKI. Ini memang masih perlu penjelasan lebib lanjut. Jangan-jangan ada informasi lain yang membuat Risma meledak.Â
Pemikiran ini wajar saja muncul karena Risma memang berkali-kali menyatakan tak berniat ikut pilgub Jakarta. Sementara Ahok tentunya akan diuntungkan karena hingga saat ini belum muncul lawan sebanding yang akan menemaninya dalam pilgub. Seharusnya, dua orang ini baik-baik saja.
Namun, kenyataan tidak demikian. Setidaknya ada tiga kejadian mulai dari masalah uang mahar politik, adu domba dengan Jokowi, dan yang terakhir penilaian yang katanya merendahkan Surabaya. Di ketiga even ini Risma marah. Sementara Ahok merasa tidak pernah bermaksud seperti yang dituduhkan.
Oleh karena itulah wajar juga jika muncul kecurigaan, jangan-jangan Ahok memang sengaja memancing Risma agar maju jadi cagub di Pilkada DKI. Alasannya sederhana, kalau Risma maju sebagai cagub, DKI akan untung dan Ahok akan gembira seandainya kalah. Karena, kepemimpinan DKI masih dipegang orang tepat, pengabdi kepentingan rakyat. Ini artinya Ahok diam-diam seirama dengan koalisi persaudaraan itu.
Namun, bisa pula diam-diam Risma sejak awal memang sudah disiapkan untuk DKI Jakarta. Dengan demikian, serentetan konflik yang mengemuka di media itu adalah bagian dari goreng menggoreng menuju DKI 1. Hal ini bisa sepenuhnya disadari Risma atau sebaliknya sama sekali tak sadar karena pembawaannya yang mudah meledak.
Lepas dari pemikiran ini, jumpa pers yang diadakan Risma terkait pernyataan Ahok itu agak terasa dipaksaan, tidak urgen, bukan prioritas. Ini karena sejak awal Surabaya memang tak punya masalah dengan Ahok. Yang salah itu atmosfer Pilgub DKI yang membuat orang serba salah. Bicara apa saja, meski soal keinginan bangun trotoar, dibumbui perbandingan luas wilayah dan APBD, akan bisa ditafsirkan sebagai pelecehan.Â
Masih urusan salah menyalahkan, yang salah itu DKI Jakarta yang tak juga punya lawan yang dinilai setara dengan Ahok dalam pilgubnya. Karenanya, meski Risma sudah berkali-kali bicara tidak akan ikut Pilgub Jakarta, banyak pihak akan terus menariknya, memancing emosinya, mengadu dan membanding-bandingkannya.Â
Yang salah itu, pihak yang menghendaki Risma keluar dari Surabaya karena alasan politik ataupun ekonomi. Dengan Risma maju ke pilgub DKI, dengan hasil kalah atau menang, Surabaya 1 atau Jatim 1 bisa terkuasai dan terkendali.
Surabaya memang tak punya salah apa-apa sama Ahok. Yang salah itu jika dua karakter temperamental dan meledak-ledak bersahut pendapat dan ucapan dengan dorongan hawa politik yang kental. Jadinya memang seperti dua jago yang adu kuat dan argumentasi, terlebih ditambah tampilan foto provokatif di media. Rame jadinya.
Karena Surabaya memang tak punya salah sama Ahok, maka Risma seharusnya tak perlu terpancing atau marah-marah. Santai saja, tetap istiqomah, banyak senyum, seperti senyum dan perhatian yang selama ini bisa ngemong warga Surabaya. Senyum itu ibadah, marah-marah yang berlebih itu sebaliknya.