Sudah ketangkap mencuri ikan di laut Natuna, masih dibela pula. Sudah ketahuan kapal penjaga pantainya (coast guard) masuk wilayah ZEE Indonesia, masih protes pula. Itulah China yang makin arogan terkait persoalan pencurian ikan di Laut Natuna yang sempat mereka sebut teritori penangkapan ikan tradisional nelayan mereka. China tampaknya hendak menyeret Indonesia ke sengketa di Laut China Selatan.
Sikap mau menang sendiri itu mereka tunjukkan kembali hari ini (31 Mei 2016) melalui Kementerian Luar Negeri-nya. China menyatakan protes kerasnya atas penangkapan kapal nelayannya oleh pemerintah Indonesia, setelah dipergoki mencuri ikan di ZEE di kawasan Laut Natuna, 27 Mei 2016 lalu. China mengklaim apa yang dilakukan nelayanya merupakan aktivitas penangkapan ikan secara normal. (detik.com, 31 Mei 2016)
Sikap China yang sangat reaktif dan mau menang sendiri ini terkait persoalan di Laut China Selatan ini, bukan kali ini saja. Meski secara resmi, tidak ada persoalan dan klaim wilayah laut Indonesia di kawasan Natuna, namun China pernah melontarkan pernyataan “aneh” bahwa kawasan Laut Natuna yang masuk ZEE Indonesia itu adalah teritorial penangkapan ikan tradisional nelayan mereka.
Sebuah klaim yang nyeleneh untuk pembenaran tindakan nelayan China mencuri ikan di perairan Indonesia. Nanti, jika mereka kembali tertangkap di wilayah Indonesia lain yang kaya ikan, mungkin klaim serupa akan kembali mereka lontarkan.
Dari sudut lain, protes pemerintah China itu bisa dinilai pula sebagai pernyataan unjuk kuasa atas klaim wilayah di kawasan Laut China Selatan. China memang sangat agresif dalam persoalan ini. Secara resmi Indonesia memang tak terlibat dalam sengketa wilayah itu karena perairan Laut Natuna dan Zona Ekonomi Eksklusifnya memang telah mendapat pengakuan PBB.
Di kawasan ini, China terlibat sengketa dengan beberapa negara, yaitu Taiwan, Vietnam, Philipina, Malaysia, dan Brunei. Namun, dalam persoalan ini China menunjukkan superior-nya. Contoh terkait persolan gugusan karang Fiery Cros Rief dengan Vietnam. Karang ini dijadikan pulau buatan oleh China meski mendapat protes keras dari Vietnam.
Namun, China terus membangun pulau buatan itu, telah mendaratkan pesawatnya di sana. China mengklaim pembangunan pulau buatan itu untuk keperluan sipil. Namun banyak negara menyebut pulau itu diperuntukkan keperluan militer dan bisa memicu ketegangan di kawasan itu.
Sikap superior China terkait persolah sengketa Laut China Selatan itu juga ditunjukkan saat pertemuan pimpinan negara G7 lalu. China melontarkan pernyataan keras agar negara-negara G7 tak ikut campur dalam urusan sengketa Laut China Selatan. China menuduh Jepang memanfaatkan forum itu, untuk membuat aliansi dan mengucilkan China, terkait persoalan Laut China Selatan.
Terkait perkara pencurian ikan oleh kapal nelayan China di perairan Indonesia, itu bukan satu-satunya kasus China dengan negara lain. Kapal-kapal nelayan China juga membanjiri perairan Vietnam sehingga diusir oleh otoritas Vietnam. Jadi, memang ada korelasi sikap superior pemerintah China di Laut China Selatan dengan armada nelayan pencuri ikan di perairan negara lain. Terlebih lagi dengan keterlibatan kapal penjaga pantainya di Laut Natuna itu.
Terkait protes China atas penangkapan kapal nelayannya oleh Indonesia, ini seperti langkah mendahului kemungkinan protes yang akan dilakukan pemerintah Indonesia. Indonesia memang berhak menyatakan protesnya ke pemerintah China karena saat kapal nelayan China Gu Bei Yu 27088 yang ber-ABK 8 orang ditangkap oleh KRI Oswald Siahaan-354, 27 Mei lalu. Kapal penjaga pantai China, saat itu melakukan aksi bayangan dengan memasuki ZEE Indonesia.
Meski tak menghalangi upaya penangkapan kapal nelayan China --sebagaimana mereka lakukan saat insiden penangkapan kapal nelayan China KM Kway Feng saat mencuri ikan di Laut Natuna 19 Maret lalu-- kapal penjaga pantai itu jelas melanggar tapal batas perairan Indonesia. Jadi, seharusnya pemerintah Indonesia yang harus melakukan protes keras atas aksi kapal penjaga pantai China itu.
Ini mengingatkan kita pada insiden 19 Maret lalu, saat dua kapal penjaga pantai China yang menghalang-halangi upaya KM Hiu 11 milik Indonesia, membawa KM Kway Feng ke Batam beserta ABK-nya untuk diadili. Namun, kapal penjaga pantai China menabrak lambung kapal Kway Feng agar usaha itu gagal. Akhirnya dengan alasan keamanan, KM Hiu 11 harus melepas kapal itu yang lantas dibawa kapal penjaga China itu.
Indonesia saat itu menyatakan protes keras atas tindakan kapal penjaga pantai China itu. Indonesia juga menuntut agar KM Kway Feng diserahkan ke Indonesia, untuk disita dan ditenggelamkan sebagaimana hukum yang berlaku di negeri ini. Namun, pemerintah China membantah kapal penjaga pantainya masuk wilayah perairan Indonesia.
China sendiri mengelak dengan berbagai dalih dan hingga kini tidak pernah menyerahkan KM Kway Feng sebagaimana tuntutan pemerintah Indonesia. Delapan nelayan China tetap menjalani proses hukum di Indonesia.
Dan, akhirnya, kasus itu mereda dengan sendirinya. Agaknya, diplomasi berlatar-belakang kepentingan ekonomi dan investasi dua negara, bisa meredakan tuntutan dan protes keras yang dimotori Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti itu.
Protes keras yang dinyatakan pemerintah China hari ini, seperti mengulang sikap mau menang sendiri seperti saat insiden 19 Maret lalu. Kini, dengan terulangnya kasus serupa tentu menimbulkan pertanyaan, apakah kita akan selalu “mengalah” demi investasi China. Protes China itu seolah menempatkan Indonesia sebagai negara yang tak tahu hukum Internasional.
Protes itu, sekaligus sebagai penguatan sikap China yang menganggap kawasan Laut Natuna sebagai teritori penangkapan tradisional nelayan mereka. Sebuah sikap yang tak bisa diterima dalam hukum internasional, namun telah dijadikan justifikasi secara sepihak oleh pemerintah China.
Sikap pemerintah China ini bisa juga dipandang sebagai pancingan agar pemerintah Indonesia mau duduk bersama membicara teritori penangkapan ikan tradisional. Sebuah langkah untuk mengesankan masih ada persoalan batas wilayah laut kita dengan China; sebuah upaya China menyeret Indonesia ke dalam konflik sengketa wilayah di Laut China Selatan. Bisa pula protes China ini sebagai ungkapan ketidaksenangan pertemuan G7 yang juga dihadiri presiden Jokowi.
Indonesia tentunya tak perlu terpancing akal-akalan ini. Menghadapi sikap mau menang sendiri pemerintah China, kita tetap harus mengedepankan sikap kepala dingin dan hati lapang. Tidak perlu terpancing dan menanggapi protes China itu. Sebaliknya, kita tetap saja mengajukan protes resmi lewat Kementerian Luar Negeri, atas masuknya kapal penjaga pantai China melakukan aksi shadowing dan masuk ZEE kita pada 27 Mei 2016 lalu, saat KRI Oswald Siahaan menangkap kapal pencuri ikan China.
Selain itu, dengan senyum dan ketegaran Menteri KKP Susi Pudjiastuti, dubes China untuk Indonesia kembali harus diundang untuk kembali diberi pandangan dan sikap pemerintah Indonesia terkait persoalan ilegal fishing dan juga pelanggaran ZEE Indonesia, oleh kapal nelayan China.
Dan yang tak kalah penting, seribu kali pun Kemenlu China melakukan protes, Angkatan Laut Republik Indonesia harus tetap setia menjaga wilayah perbatasan laut kita, betapa pun terbatasnya armada kita. Dan yang lebih penting lagi, tangkap terus kapal maling ikan dari China itu.Tak ada kompromi, meski dengan alasan investasi. Kedaulatan wilayah RI tak bisa ditukar dengan investasi. Maling ikan ya tetap maling ikan, harus ditangkap dan kapalnya ditenggelamkan.
Salam.
Bacaan pendukung:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H