Ini mengingatkan kita pada insiden 19 Maret lalu, saat dua kapal penjaga pantai China yang menghalang-halangi upaya KM Hiu 11 milik Indonesia, membawa KM Kway Feng ke Batam beserta ABK-nya untuk diadili. Namun, kapal penjaga pantai China menabrak lambung kapal Kway Feng agar usaha itu gagal. Akhirnya dengan alasan keamanan, KM Hiu 11 harus melepas kapal itu yang lantas dibawa kapal penjaga China itu.
Indonesia saat itu menyatakan protes keras atas tindakan kapal penjaga pantai China itu. Indonesia juga menuntut agar KM Kway Feng diserahkan ke Indonesia, untuk disita dan ditenggelamkan sebagaimana hukum yang berlaku di negeri ini. Namun, pemerintah China membantah kapal penjaga pantainya masuk wilayah perairan Indonesia.
China sendiri mengelak dengan berbagai dalih dan hingga kini tidak pernah menyerahkan KM Kway Feng sebagaimana tuntutan pemerintah Indonesia. Delapan nelayan China tetap menjalani proses hukum di Indonesia.
Dan, akhirnya, kasus itu mereda dengan sendirinya. Agaknya, diplomasi berlatar-belakang kepentingan ekonomi dan investasi dua negara, bisa meredakan tuntutan dan protes keras yang dimotori Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti itu.
Protes keras yang dinyatakan pemerintah China hari ini, seperti mengulang sikap mau menang sendiri seperti saat insiden 19 Maret lalu. Kini, dengan terulangnya kasus serupa tentu menimbulkan pertanyaan, apakah kita akan selalu “mengalah” demi investasi China. Protes China itu seolah menempatkan Indonesia sebagai negara yang tak tahu hukum Internasional.
Protes itu, sekaligus sebagai penguatan sikap China yang menganggap kawasan Laut Natuna sebagai teritori penangkapan tradisional nelayan mereka. Sebuah sikap yang tak bisa diterima dalam hukum internasional, namun telah dijadikan justifikasi secara sepihak oleh pemerintah China.
Sikap pemerintah China ini bisa juga dipandang sebagai pancingan agar pemerintah Indonesia mau duduk bersama membicara teritori penangkapan ikan tradisional. Sebuah langkah untuk mengesankan masih ada persoalan batas wilayah laut kita dengan China; sebuah upaya China menyeret Indonesia ke dalam konflik sengketa wilayah di Laut China Selatan. Bisa pula protes China ini sebagai ungkapan ketidaksenangan pertemuan G7 yang juga dihadiri presiden Jokowi.
Indonesia tentunya tak perlu terpancing akal-akalan ini. Menghadapi sikap mau menang sendiri pemerintah China, kita tetap harus mengedepankan sikap kepala dingin dan hati lapang. Tidak perlu terpancing dan menanggapi protes China itu. Sebaliknya, kita tetap saja mengajukan protes resmi lewat Kementerian Luar Negeri, atas masuknya kapal penjaga pantai China melakukan aksi shadowing dan masuk ZEE kita pada 27 Mei 2016 lalu, saat KRI Oswald Siahaan menangkap kapal pencuri ikan China.
Selain itu, dengan senyum dan ketegaran Menteri KKP Susi Pudjiastuti, dubes China untuk Indonesia kembali harus diundang untuk kembali diberi pandangan dan sikap pemerintah Indonesia terkait persoalan ilegal fishing dan juga pelanggaran ZEE Indonesia, oleh kapal nelayan China.
Dan yang tak kalah penting, seribu kali pun Kemenlu China melakukan protes, Angkatan Laut Republik Indonesia harus tetap setia menjaga wilayah perbatasan laut kita, betapa pun terbatasnya armada kita. Dan yang lebih penting lagi, tangkap terus kapal maling ikan dari China itu.Tak ada kompromi, meski dengan alasan investasi. Kedaulatan wilayah RI tak bisa ditukar dengan investasi. Maling ikan ya tetap maling ikan, harus ditangkap dan kapalnya ditenggelamkan.
Salam.