Mohon tunggu...
mohammad mustain
mohammad mustain Mohon Tunggu... penulis bebas -

Memotret dan menulis itu panggilan hati. Kalau tak ada panggilan, ya melihat dan membaca saja.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ahok Bukan Gila Jabatan tapi Pejuang Jabatan

17 Maret 2016   12:56 Diperbarui: 17 Maret 2016   13:08 1082
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Perbedaan dengan Pejuang Jabatan

Berdasatkan penjelasan Ahok, dalam fragmen "persidangan Mata Najwa", dia menolak apa yang dilakukannya dengan mengikuti beberapa kali pilkada sebagai tindakan gila jabatan. Apa yang dilakukannya adalah tindakan memperjuangkan cita-citanya ikut mempersiapkan Indonesia menghadapi ASEAN Free Trade Area (AFTA) atau kawasan bebas perdagangan antarnegara ASEAN. Karena itu dia tinggalkan jabatan bupati dan berjuang ke level lebih tinggi, yaitu gubernur yang mengantarkannya ke Jakarta. 

Adanya unsur perjuangan mewujudkan cita-cita ikut mempersiapkan Indonesia menghadapi AFTA, membuat tindakan Ahok tidak bisa digolongkan sebagai gila jabatan. Ada nilai mulia dalam tindakan itu. Konotasi negatif yang terbawa dalam kata 'gila' tidak terpenuhi dalam tindakan Ahok

Ungkapan yang relatif cocok untul mewakili tindakannya adalah 'pejuang jabatan'. Adanya kata pejuang yang berkonotasi positif, membuat kata jabatan di belakangnya terimbas kepositifannya. Dalam KBBI, kata 'pejuang' dimaknai orang yang berjuang atau prajurit. Ada kata dasar 'juang' yang bermakna berusaha sekuat tenaga memperoleh sesuatu yang penuh kesukaran dan bahaya.

Meskipun sama-sama berusaha sekuat tenaga memperoleh sesuatu yang penuh kesukaran dan bahaya, jika tak terkandung unsur mulia, seseorang tidak bisa disebut pejuang. Sama-sama berusaha sekuat tenaga agar Indonesia merdeka misalnya, tak serta merta membuat seseorang menjadi pejuang. Jika tindakannya tidak mulia, bertentangan dengan hukum kemanusiaan, dan semena-mena, maka dia lebih pantas disebut sebagai penghianat kemanusiaan.

Kembali ke ungkapan 'pejuang jabatan', seharusnya itu bermakna positif, yaitu seseorang yang berjuang sekuat tenaga memperoleh jabatan tertentu dengan tujuan dan cara-cara mulia. Tidaklah tepat mengartikan ungkapan ini hanya dengan makna seseorang yang berjuang untuk sekedar memperoleh jabatan.

Akhirnya, mulia tidaknya tindakan seseorang sehingga bisa digolongkan sebagai pejuang atau tidak, orang lain yang menilainya. Demikian pula urusan jabatan, rakyat bisa menilai seseorang pemimpin atau pejabat itu bertindak mulia atau hanya pura-pura. Rakyat makin kritis.

Pilgub DKI Jakarta magnetnya menarik perhatian pelosok negeri. Tampilnya figur Ahok yang mewakili kebhinekaan Indonesia, telah menarik perhatian banyak parpol. Sayang pilihannya menempuh jalur independen, membuat simpati berbalik menjadi tuduhan melakukan deparpolisasi.

Menurunnya tingkat kepercayaan rakyat terhadap parpol, memang terus meningkat. Kasus demi kasus yang mendera kader parpol sebagai penyebabnya. Rakyat membuat pilihan yang dibenarkan undang-undang. Mereka mengajukan calon sendiri lewat jalur independen. Pilihan legal dan realistis.

Apakah ini ancaman bagi demokrasi yang berbentuk deparpolisa? Itu berlebihan. Yang duduk di Senayan tetaplah represantasi parpol, yang dipilih dalam pemilu legislatif tetaplah parpol, demikian pula pembuat UU. Tak ada kelompok independen.

Jika tak ingin memperbesar gerakan independen dalam pilkada, seharusnya parpol memperbaiki kaderisasi partai. Dengan demikian semakin banyak kader yang bisa diterima dan rakyat tak perlu mengajukan pilihan sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun