Mohon tunggu...
mohammad mustain
mohammad mustain Mohon Tunggu... penulis bebas -

Memotret dan menulis itu panggilan hati. Kalau tak ada panggilan, ya melihat dan membaca saja.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Guru Oh Guru Honorer

12 Maret 2016   10:57 Diperbarui: 12 Maret 2016   11:03 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

guru oh guru

 

guru kencing berdiri, murid kencing berlari

kirim sms ancam menteri Yudi, guru Mashudi pun ditangkap polisi

 

guru oh guru, sosok yang harus digugu dan ditiru

siapa pula yang akan membelamu, kala asa terasa putus di kepalamu

 

tiga tahun menahan harap, guru honorer tanya gaji,

bukan uang didapat, Adi Meliyati Tameno pun dipecat dan dilaporkan polisi

 

guru oh guru, betapa berat bebanmu

kata orang kau tak lagi "wagu" dan "kuru"

namun sayang tak semua seberuntung itu

 

tujuh ratus ribu guru honorer, tujuh ratus ribu keluarga

menunggu janji menteri, diangkat jadi pegawai negeri

angan melambung, dapat gaji layak dan tambahan tunjangan profesi

 

sayang seribu sayang, yang diharap tak kunjung datang

 

menteri bilang, tahun ini tak ada pengangkatan jadi pegawai negeri

kecewa, marah, putus asa, pasrah memenuhi dada

menanti itu melelahkan pak menteri

 

datang ke jakarta memandang istana, mungkin ada secercah cahaya asa di sana

bukankah mereka pahlawan tanpa tanda jasa?

dan negara selalu menghargai para pahlawannya

 

tiga hari menunggu asa, bertemu presiden tercinta

memohon janji menteri segera terwujud nyata

namun apa daya asa tak kunjung tiba, tak ada waktu yang tersisa

 

duh guru

...................

Selama dua minggu ini, ada dua peristiwa yang menggugah hati, terkait guru honorer. Yang pertama, apa yang menimpa guru honorer SDN Oefafi dari Kabupaten Kupang NTT, Adi Meliyati Tameno. Yang kedua, ulah Mashudi guru honorer SMAN 1 Ketanggung Kabupaten Brebes Jawa Tengah, yang mengirim sms ancaman kasar kepada Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yudi Chrisnandi.

Adi Meliyati Tameno guru honorer SD itu, sudah tujuh tahun mengabdi di SDN Oefafi. Selama empat tahun pertama, dia dapat honor Rp 250 ribu per bulan yang diberikan tiga bulan sekali. Tiga tahun terakhir, kepala sekolah berganti. Nah, honor yang tak seberapa itu mulai terhenti. Wajar, jika Adi yang sudah tiga tahun menunggu itu akhirnya memberanikan diri bertanya.

Adi pun berkirim sms ke bendahara sekolah menanyakan honornya. Sang bendahara yang tak bisa menjawab, meneruskan sms itu ke kepala sekolah. Dan tanggapannya sungguh luar biasa. Keesokan harinya, bukannya memberi honor, kepala sekolah langsung memecat Adi Meliyati Tameno. Tanpa rapat tanpa surat. Tak hanya itu, guru honoret SD itu juga dilaporkan ke Polres Kupang dengan tuduhan pencemaran nama baik.

Mashudi guru honoret SMAN 1 Ketanggung Brebes, Jawa Tengah juga berkirim SMS. Yang dikirimi bukan kepala sekolahnya, tapi langsung Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Isinya, ucapan kasar dan ancaman kepada Pak Menteri. Tindakan nekatnya itu karena Pak Menteri dianggap ingkar janji, tak jadi memproses guru honorer jadi pegawai negeri tahun ini.

Sebagai pendidik, tindakannya mengirim sms ancaman itu sungguh tak terpuji. Rasa marah, geram, kecewa, atas janji Menteri Yudi yang tak ditepati itu bukan alasan baginya untuk berbuat seperti itu. Guru memang harus selalu berperilaku teladan, meski hidup serba paspasan bahkan kekurangan.

Dua kejadian itu bermuara pada satu hal, masalah kesejahteraan guru honorer yang terabaikan. Saat ini, hampir empat juta guru tersebar di sekolah seluruh Indonesia, 1,1 juta di antaranya adalah guru honorer. Harapan akan nasib baik menjadi PNS dan panggilan jiwa menjadi guru, membuat para guru honorer bertahan mengajar walau dengam imbalan yang minim. Kehadiran mereka seiring dengan banyaknya sekolah yang kekurangan guru.

Sepuluh Februari lalu, ribuan guru honoret yang masuk kategori K2, dari berbagai wilayah datang ke depan Istana Merdeka. Mereka ingin bertemu presiden, agar pemerintah segera mengangkat mereka menjadi PNS. Tahun lalu, ada janji menteri akan adamya pengangkatan tahun ini. Tujuh ratus ribu guru honorer sudah ikut tes, namun hasilnya tak pernah mereka ketahui.

Yang muncul malah pernyataan Menteri Yudi yang mengatakan tak adanys pengangkatan PNS bagi guru honorer tahun 2016 ini. Para guru honorer kecewa, mereka pun datang ke depan istana berharap presiden mau menemui dan tetap melakukan pengangkatan CPNS. Sayang waktu tak tersedia, Menteri Pratikno yang menemui mereka tak memuaskan mereka. Tiga hari menunggu, tak menghasilkan seperti yang diharap. Lima guru meninggal selama proses ini, karena kelelahan.

Hampir 71 tahun kita merdeka, namun penghargaan kita berikan kepada guru masih sangat kurang. Jika para pekerja di sektor lain punya standar upah minimum yang ditetapkan pemerintah, para guru honorer tak mempunyai itu. Walau mereka mengajar dengan giat, mereka harus pasrah dengan honor yang mereka terima. Tak ada tempat mengadu.

Kita telah menerapkan standar ganda terhada para guru ini. Mereka dituntut berlaku bak dewa, yang harus digugu dan ditiru. Mereka diperlakukan bak "sabdo pandito guru", karena harus mengajarkan dan menanamkan nilai-nilai keutamaan bangsa ini. Namun, begitu urusan menyangkut upah atau honor, para guru ditempatkan pada posisi yang buruk. Mereka telah didiskriminasi.

Di kota besar macam Jakarta atau Surabaya, nasib mereka lebih baik karena ketentuan UMP mereka peroleh. Di daerah lain, seperti daerah Adi Meliyati Tameno, termasuk kabupaten di Jawa, gurunya tak seberuntung itu. Kalau dirata-rata, mereka menerima honor di bawah Rp 500 ribu. Mereka harus mengambil profesi sampingan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi sehari-hari. Jadi tukang ojek, buruh cuci, jual makanan, dan lain-lain mereka lakoni. 

Tak ada perlindungan hukum terhadap para guru honorer ini dalam urusan honor. Mereka tak bisa menggugat seperti pekerja di sektor lain. Jika pekerja pabrik diberi upah yang tak sesuai ketentuan, mereka bisa menggugat dan pengusahanya bisa dipidana. Namun jika guru honorer menerima honor yang tak layak, mereka hanya bisa pasrah. Tak sda yang bisa dipidana karena memberi honor tak layak kepada guru.

Mengubah semua guru honorer jadi pegawai negeri memang muskil dilakukan. Anggaran negara dinilai tak mencukupi untuk itu. Meski demikian, membuat aturan hukum yang menjamin kesetaraan para guru honorer untuk mendapat honor yang layak bukan hal yang muskil. Masalahnya hanya pada kemauan kita melakukannya.

Sudah waktunya kita menempatkan kesejahteraan para pahlawan tanpa tanda jasa pada tempat yang semestinya. Bangsa ini besar karena perjuangan mereka mendidik anak-anak bangsa. Presiden sudah memberi suri tauladan, mengundang para gurunya dan "sungkem" kepada mereka. 

Namun guru juga manusia. Mereka juga lapar dan dahaga, ingin punya rumah layak walaupun sederhana. Mereka bukanlah para malaikat yang tanpa cacat dan cela. Mereka punya anak dan keluarga. Sejahterakan mereka itulah penghormatan yang sebenarnya.

 

     

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun