[Al-Islam edisi 749, 6 Jumaduts Tsani 1436 H – 27 Maret 2015 M]
بِسْمِ ٱﷲ ِٱلرَّحْمٰنِ ٱلرَّحِيْمِ
SURAT UNTUK INDONESIA
Saudaraku, kita semua tentu tahu, saat ini negara kita tengah dibelit berbagai persoalan yang sangat berat. Bila belakangan banyak orang menyerukan Save KPK, lebih dari itu kita sesungguhnya memerlukanSave Indonesia. Sebab, bila menilik beratnya persoalan yang mengancam negeri ini dan tidak segera diatasi, bukan tidak mungkin negeri ini akan hancur. Mengapa?
Saat ini kita tengah berada dalam ancaman neoliberalisme dan neoimperialisme yang makin keras mencengkeram. Neoliberalisme adalah paham yang menghendaki pengurangan peran negara dalam ekonomi. Dalam pandangan neoliberalisme, negara dianggap sebagai penghambat utama penguasaan ekonomi oleh individu/korporat. Pengurangan peran negara dilakukan dengan: privatisasi sektor publik seperti migas, listrik, jalan tol dan lainnya; pencabutan subsidi komoditas strategis seperti migas, listrik, pupuk dan lainnya; penghilangan hak-hak istimewa BUMN melalui berbagai ketentuan dan perundang-undangan yang menyetarakan BUMN dengan usaha swasta. Jadi, neoliberalisme sesungguhnya merupakan upaya pelumpuhan negara, selangkah menuju corporate state (korporatokrasi). Ketika itu, negara dikendalikan oleh persekutuan jahat antara politikus dan pengusaha. Akibatnya, keputusan-keputusan politik tidak dibuat untuk kepentingan rakyat, tetapi untuk kepentingan korporat (perusahaan) baik domestik maupun asing.
Ancaman neoliberalisme akan semakin besar dengan pemberlakuan MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) mulai tahun 2015 ini. MEA, sebagaimana blok pasar bebas lain, merupakan strategi kekuatan kapitalis global untuk meluaskan hegemoninya, khususnya di kawasan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Dalam pasar bebas, dihapus semua hambatan masuk (barrier to entry) baik tarif maupun non tarif seperti regulasi, penetapan kuota, subsidi, dan lainnya yang selama ini memang dibuat untuk melindungi produk dalam negeri. Jadi, MEA tak lain adalah pasar bebas yang akan membuka pasar negara-negara di kawasan ASEAN yang berpenduduk sekitar 600 juta bagi produk dan penanaman modal negara-negara kapitalis besar.
Sementara itu, gelombang demokratisasi di segala bidang pasca Reformasi, khususnya di bidang politik dengan pemberlakuan model pemilihan langsung untuk kepala daerah dan presiden serta pemilihan anggota legislatif berdasar suara terbanyak, telah memberikan kesempatan kepada kekuatan kapitalis global untuk makin menancapkan pengaruhnya di Indonesia. Dengan kekuatan dana besarnya, mereka masuk dalam kontestasi politik di Indonesia. Harapannya, melalui orang-orang yang didukung, mereka bisa turut menentukan pemilihan pejabat publik dan memberikan arah kebijakan ke depan. Bagi politikus pragmatis, tak jadi soal menggadaikan kewenangan politik, yang penting mereka terpilih. Karena itu, pasca Reformasi banyak sekali lahir kebijakan-kebijakan dan peraturan perundangan yang sangat liberal dan kental dipengaruhi kepentingan asing.
Keputusan rezim Jokowi-JK yang bergegas menaikkan harga BBM, misalnya, adalah bukti kebijakan yang sangat sarat kepentingan asing. Meskipun kemudian diturunkan, namun tidak bisa menutupi maksud sesungguhnya dari kebijakan itu, yakni pemberlakuan liberalisasi migas secara total. Rezim Jokowi-JK mencabut subsidi BBM dan menetapkan harga sesuai dengan harga pasar. Inilah yang dimaui oleh perusahaan migas asing agar mereka bisa leluasa masuk di sektor niaga BBM. Ini bisnis yang luar biasa besar. Mereka mengambil minyak di Indonesia, lalu diolah dan dijual di Indonesia, tetapi dengan harga internasional. Setiap tahun, perusahaan migas asing diperkirakan bisa meraup untung tak kurang dari Rp 150 triliun.
Di lapangan legislatif, intervensi asing juga sangat nyata. Menurut seorang anggota DPR, ada lebih dari 76 UU yang pembuatan draft-nya dilakukan pihak asing seperti UU Migas, UU PM, UU Kelistrikan, UU SDA, UU Perbankan dan sejenisnya yang jelas-jelas telah meliberalisasi sektor-sektor vital di Indonesia. Dari fakta-fakta inilah kita menyebut bahwa negeri ini juga tengah dalam ancaman neoimperialisme.
Neoimperialisme adalah penjajahan cara baru yang ditempuh oleh negara kapitalis untuk tetap menguasai dan menghisap negara lain. Dulu dikenal dengan semangat gold (kepentingan penguasaan sumber daya ekonomi), glory (kepentingan kekuasaan politik) dan gospel (kepentingan misionasi Kristiani). Meski mungkin kepentingan yang ketiga (gospel) kini tidak begitu menonjol, kepentingan pertama dan kedua (gold dan glory) nyata sekali masih berjalan.
Saudaraku, neoliberalisme dan neoimperialisme tentu saja berdampak sangat dampak buruk buat kita semua. Di antaranya, tingginya angka kemiskinan dan kesenjangan ekonomi, kerusakan moral, korupsi yang makin menjadi-jadi, dan kriminalitas yang kian merajalela. Banyaknya pejabat dan anggota legislatif yang menjadi tersangka korupsi menjadi bukti sangat nyata perilaku mereka yang menghalalkan segala cara guna mengembalikan investasi politiknya. Eksploitasi SDA di negeri ini secara brutal juga menunjukkan bagaimana para pemimpin negeri ini telah gelap mata dalam memperdagangkan kewenangannya sehingga membiarkan kekayaan alam yang semestinya untuk kesejahteraan rakyat itu dihisap oleh korporasi domestik maupun asing. Kenyataan buruk itu makin diperparah oleh kebijakan-kebijakan politik seperti kenaikan harga BBM, elpiji, tarif listrik, dan lain-lain.
Sementara itu, demokrasi yang selama ini dipercaya sebagai sistem politik terbaik, yang akan mewadahi aspirasi rakyat, pada kenyataannya bohong belaka. Rakyat hanya diperhatikan pada saat kampanye atau sebelum pemilihan. Setelah terpilih, anggota legislatif, kepala daerah, dan bahkan presiden lebih memperhatikan para penyokongnya. Lahirnya UU-UU liberal, dan lembeknya Pemerintah di hadapan perusahaan asing seperti Freeport, adalah bukti nyata pengabaian aspirasi rakyat serta ketundukan Pemerintah pada kekuatan para cukong di dalam dan luar negeri. Jadi, dalam demokrasi tidak ada yang namanya kedaulatan rakyat; yang ada adalah kedaulatan para pemilik modal.