Mohon tunggu...
Novran Sulisno
Novran Sulisno Mohon Tunggu... Guru - I'm Teacher

Seorang Manusia yang mencoba untuk berkontribusi memberikan literasi pemikiran yang bersudut pandang ideologi Islam sebagai indentitas

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

APBN 2014: Makin Kapitalis, Makin Membebani

20 November 2013   00:01 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:55 390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Makin Membebani

Paradigma keliru kedua adalah liberalisasi ekonomi. Salah satu doktrin ekonomi liberal, negara tidak boleh campur tangan langsung dalam perekonomian. Maka terjadilah privatisasi semua sektor termasuk pelayanan keapda rakyat. Privatisasi pengelolaan SDA menyebabkan SDA negeri ini dikuasai oleh swasta asing. Banyak BUMN juga diprivatisasi. Akibatnya kekayaan negeri ini lebih banyak dinikmati oleh asing. Ini sudah bukan rahasia umum.

Dampak langsung dari liberalisasi ekonomi ini Pemerintah kehilangan sumber pendapatan dari harta milik umum dan milik negara. Negara hanya mendapatkan sebagian kecil melalui pajak atau pembagian laba dari penyertaan modal. Penerimaan negara akhrinya makin besar bertumpu pada pajak, yang artinya adalah bertumpu pada pungutan terhadap rakyat. Pada APBN 1998/1999 penerimaan negara relatif masih imbang antara penerimaan pajak dan non pajak (SDA Migas dan Non Migas). Tapi sejak tahun 2002, pemerintahan meningkatkan sumber penerimaan pajak diatas 70 % . Tahun 2006 sebesar 75,2 %, tahun 2013 78 % dan APBN 2014 penerimaan pajak mencapai 84%. Itu artinya, pungutan atau beban terhadap rakyat makin besar dari tahun ke tahun.

Akibat liberalisasi itu Negara harus terus mencabut dan mengurangi subsidi yang dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip liberalisasi termasuk subsidi untuk pelayanan kepada rakyat. Maka ketika pungutan atau beban kepada rakyat makin bertambah, sebaliknya pelayanan yang diterima rakyat dari negara justru terus berkurang. Rakyat pun dipaksa membiayai pelayanan untuk mereka sendiri, seperti pendidikan dan kesehatan.

Boros dan Tak Efektif

APBN yang disusun sangat kapitalistik itu masih diperparah dengan kebijakan Belanja yang cenderung boros, tidak pro rakyat, tak efektif dan kecil untuk bisa mendorong perekonomian. Ada beberapa indikasi yang menunjukkan hal itu.

Pertama, Sebagian besar belanja APBN untuk kepentingan birokrasi dan pemerintah sendiri. Dari belanja APBN 2014 sebesar Rp. 1.842,2 triliun, 70%-nya (Rp 1.249,9 triliun) untuk Pemerintah Pusat, dan sisanya Rp 592,5 triliun (30%) ditransfer ke daerah. Belanja pemerintah pusat itu sebagian besar untuk belanja birokrasi terdiri dari belanja pegawai Rp 263,9 triliun dan belanja barang senilai Rp 201,8 triliun, sedangkan belanja modal hanya Rp 205,8 triliun (11, 17%). Belanja kementerian dan lembaga tahun 2014 disepakati sebesar Rp 637 triliun (34,6%). Celakanya perilaku pembelanjaan yang lebih banyak untuk kepentigan pemerintah sendiri itu juga dilakukan di daerah-daerah. Belanja modal yang berkontribusi langsung pada pertumbuhan ekonomi hanya meningkat Rp 13 triliun (7%) menjadi Rp 205,8 triliun. Maka jika diharapkan APBN 2014 bis mendorong perkembangan ekonomi, rasanya jauh panggang dari api.

Kedua, beberapa pembelanjaan cenderung tidak efektif dan terkesan pemborosan. Misalnya anggaran untuk perjalanan dinas di tahun 2014 justru dinaikkan Rp 8 triliun (33%) dari tahun 2013, yaitu dari Rp 24 triliun menjadi Rp 32 triliun. Padahal selama ini perjalanan dinas dinilai lebih banyak bernuansa plesiran.

Ketiga, penyerapan anggaran selama ini tidak efektif. Selama periode kedua pemerintahan Presiden SBY, daya serap anggaran cenderung menurun. Anggaran 2009 hanya terserap 91,8 persen, lalu menjadi 90,9 persen pada 2010. Dua tahun berikutnya, penyerapan anggaran berkutat pada angka 87 persen. Sisa lebih penggunaan anggaran (Silpa) di APBN-P 2012 mencapai Rp 34,01 triliun. Itupun masih diperburuk perilaku yang sudah jadi rahasia umum yang menghabiskan anggaran di akhir tahun, dan banyak diantaranya seolah asal anggaran habis.

Keempat, walaupun setiap tahun selalu ada anggaran yang tidak terserap, tapi pemerintah terus menambah utang baru. Utang pemerintah pun akhirnya makin menggunung. Akibatnya, beban bunga dan cicilan pokok yang harus dibayar tiap tahun meningkat, dan rata-rata sekitar 20% dari APBN tiap tahun. Padahal bunga tersebut jelas haram dan harusnya digunakan untuk kepentingan rakyat.

Kelima, anggaran yang berhubungan langsung dengan rakyat seperti subsidi energi dan bantuan sosial turun. Anggaran subsidi energi (BBM dan listrik) di tahun 2014 dianggarkan Rp 282 triliun, turun dari Rp 299,9 triliun dalam APBN-P 2013. Penurunan tiu karena subsidi listrik turun dari Rp 100 triliun di APBN-P 2013 menjadi Rp 71,7 triliun. Maka hampir bisa dipastikan, tarif listrik akan naik di tahun 2014. Anggaran bantuan sosial juga turun dari Rp. 82,4 triliun menjadi Rp. 55,8.Keenam, setiap tahun APBN masih banyak yang bocoran dikorupsi. Selain itu juga masih banyak pembelanjaan yang dilakukan seolah asal menghabiskan anggaran terutama menjelang akhir tahun seperti sekarang ini hingga akhir desember nanti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun