Mohon tunggu...
daisah
daisah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswi Desain Furnitur Politeknik Industri Furnitur dan Pengolahan Kayu

it's not about story or history

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Langit dan Pengakuan

18 September 2020   11:09 Diperbarui: 18 September 2020   11:17 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Berdiri seorang itu dekat pintu sebuah bis dengan pandangan kemana saja di tepi keramaian bersama pikiran-pikiran di dalam kepalanya. Sendiri tak membuat perjalanannya sepi, beramai-ramai pun tidak membuatnya terasa tidak nyaman. Dalam perjalanannya ia memperhatikan sekekelingnya namun tak terlihat begitu. Semua penumpang terlihat baik-baik saja di dalam bis. 

"Aku suka langit, tapi aku tak suka kalau banyak orang mengatakan kalau mereka juga menyukainya. Bukan aku merasa ini langit milk diriku sendiri, aku hanya tak suka jika mereka hanya mengatakan menyukai langit-Nya saat senja saja, atau saat awan sedang bagus bagusnya", bicaranya dengan pikiran sendiri.

Jalanan rata, supir ugal-ugalan, dan segala suasana berbeda yang dirasakan tiap penumpang. Tak begitu hening karena suara dari pengeras suara dan lagu-lagu yang diputar pak sopir, serta suara kondektur yang memberikan instruksi bagi penumpang yang hendak turun. Seseorang itu kini menghadap ke jendela dengan tas yang diletakkan di bagian depan tubuhnya untuk mengantisipasi segala hal yang tidak diinginkan meskipun didalamnya tidak ada benda yang benar-benar berharga.

"Aku ingin seperti langit, bukan karena ingin terlihat tinggi. Tapi karena langit tidak akan terlihat jika orang-orang tak melihatnya. Coba saja kalau orang-orang berjalan hanya menatap jalan atau gedung gedung saja, mereka tak akan begitu sadar kalau diatasnya ada langit yang cantik", batinnya.

"Langit itu indah, tanpa pengakuan dari siapapun. Langit juga tak butuh sanjungan. Malam, Mendung, hujan, petir atau berawan langit tetap saja cantik. Langit itu bagai kanvas tak berujung milik-Nya Yang Maha Perkasa tiada tanding" tambahnya.

berjalan ia ke pintu ketika bis hendak berhenti mendekati halte. Bis pun berhenti pada sebuah halte, terlihat disana seorang perempuan yang sudah menunggu sambil bermain smarthpone keudian ia menghamprinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun