Mungkin saya terlalu ngomong gede, tetapi ini realita. Sekedar informasi keluarga saya dulu pernah merasakan kelaparan karena ketakpunyaan itu. Waktu itu saya masih cukup kecil untuk makan sisa kerak nasi hangus dari dalam periuk sebagai pengganjal perut yang seharian sudah tak makan. Maklumlah saat itu ibu dan bapak saya tak bisa dapat pinjaman dari tetangga karena ekonomi mereka juga sulit.Â
Orang tak punya itu selalu mencoba untuk dapat mengerti orang lain. Orang tak punya itu juga tak mau merepotkan orang yang terus-menerus membantunya. Kalau mereka itu pikirannya satu tak mau terus-terusan dibantu, karena mereka bukan pengemis. Orang tak punya juga tahu, mana meminta bantuan dan mana meminta untuk jadi benalu. Itu adalah hal yang dimiliki oleh orang tak punya.Â
Terus posisi si mampu di mana lah?
Si mampu seharusnya mulai belajar untuk mengertilah, seenggaknya untuk membaca kondisi dan situasi orang yang tak cukup beruntung jika dibanding mereka yang punya emas antam, deposito, gaji tetap dan dana cadangan.
Setidaknya kalau beras berlebih untuk sebulan bisalah didonasikan pada yang mereka-mereka yang membutuhkan. Kalaupun tak bisa karena diri juga butuh tolong segera dilaporkan pada aparatur pemerintah terkecil. Minimal kasih tahu pak RT atau pak RW. Biar mereka yang laporkan ke Pak Kades atau Pak Lurah. Saat ini kita kena wabah pandemi jadi kita harus lebih peduli. Sama-sama paham dan ngerti, nggak semua orang bisa diam diri di rumah yang dihuni. Makannya dari mana si tak punya ini nanti kalau diam diri?
Ayo Indonesia lebih peduli! Jangan juga gengsi minta uluran tangan!Â
Terakhir, jangan tinggi hati setelah memberi bantuan!

.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H