Mohon tunggu...
Dainsyah Dain
Dainsyah Dain Mohon Tunggu... Wiraswasta - Chief Education Officer
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Chief Education Officer di Yayasan Pendidikan Nasional Swadaya, Bandung. Konsultan Komunikasi-sains: manfaat medis dan peluang bisnis Vernonia amygdalina alias daun afrika; DAIN Daun Afrika Inovasi Nusantara

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Beras Sintetis Ditolak, Obat Sintetis Diterima

25 Mei 2015   10:53 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:38 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Produsen beras sintetis memang harus berjuang lebih keras agar bisa meraih kepercayaan publik seperti prestasi industri obat. Iklan harus digencarkan bekerja sama dengan public figure yang dicintai khalayak. Dengan memberikan sebagian kecil uang penghasilann kepada juru iklan dan upeti kepada penguasa, produk-produk sintetis bisa menjadi trending topic dalam kepala masyarakat.

Lihatlah produsen rokok sintetis, yang mengganti tembakau alami dengan tembakau kertas. Bahkan dengan kewajiban menempelkan peringatan ancaman sakit, rokok putih, yang diyakini masyarakat tidak menggunakan tembakau asli, tetap dibeli dan digandrungi. Meskipun beracun, mereka tetap loyal pada brand luar negeri atau pun yang cuma mirip merk luar negeri.

Lihatlah pula produsen obat sintetis, hasil bisnisnya mampu membeli property yang bejibun. Patut dipuji juga, mereka cukup peduli dengan membangun rumah-rumah sakit. Selain untuk kelancaran distribusi obat, keberadaan rumah sakit lumayan membantu memudahkan terpenuhinya kebutuhan hilangnya rasa sakit yang mendesak.

Kelemahan obat alami pada umumnya adalah daya kerjanya yang lamban, tidak cespleng. Meskipun khasiat herbal jelas, kadang penderita ingin bukti kerja yang tegas. Pada umumnya, herbal tidak menunjukkan ketegasan.

Sejak mengenal dunia pengobatan bahan alam, saya tidak berhenti mencari tumbuhan yang kemanjurannya bisa diandalkan. Dari jurnal-jurnal ilmiah, infomasi kejelasan obat herbal bisa diperoleh. Sayangnya dokter menolak infomrasi jurnal ilmiah selevel itu. Dokter menghendaki informasi yang lebih tegas, yaitu jurnal klinis. Berdasarkan pengalaman, informasi yang sudah jelas dan tegas pun, belum tentu bisa diterapkan, karena ada masalah lain yaitu keandalan obat. Jelas dan tegas tidak berarti andal!

Sekarang ini saya terpaksa menerima kemampuan obat herbal apa adanya. Maksudnya, apa adanya pemahaman orang. Sudah tegas pun efek daun afrika yang diuji-cobakan pada para tetangga, toh masih ada tetangga yang sinis. "Apa sudah diuji klinis? Apa sudah ada nomor BPOMnya?" tanya seorang bapak saat mengobrol di kebun contoh depan rumah. "Belum, Pak," kata saya. "Uji klinis mahal sekali, sedangkan pendaftaran obat ke BPOM pasti ditolak untuk kelas UKM begini," lanjut saya. "UKM, usaha kecil melarat," kata saya sambil tertawa. Padahal bapak ini sudah melihat kejelasan dan ketegasan daun afrika menyembuhkan nyeri sendi istrinya. Si ibu sudah bisa sholat dengan berdiri lagi. Kurang apa coba?

Pesimisme bukan saja menghinggapi orang lain, saya pun tertular juga. Waktu berjualan di Car Free Day Buahbatu Bandung, dalam rangka mencari nafkah demi sesuap nasi restoran, dan segenggam harapan kemajuan, seorang teman menunjuk seorang ibu gemuk yang tertatih dengan tongkat. "Ibu itu butuh daun afrika, tuh" katanya. Saya jawab, sudah saya berikan brosur mungil padanya tadi. "Kalau melihat tampilannya, ibu ini dokter minded, dan lebih suka obat sintetik," kata saya dan teman itu setuju.

Harapan masih ada untuk mengunggulkan obat dari tumbuhan. Sesungguhnya sulit karena meningkatnya kesadaran bahwa yang alami lebih baik daripada yang sintetis. Pengalaman, dari berjualan di pinggir jalan setiap akhir pekan, menunjukkan bahwa mereka yang memilih obat dari tumbuhan adalah orang-orang yang bosan berkepanjangan bolak balik ke dokter untuk pengobatan. Cintanya sih masih kepada obat sintetis; obat tumbuhan hanyalah cinta sesaat alias selingkuh untung-untungan. Buktinya?

Selama menjadi PKL, saya belum pernah menjual batang stek pohon daun afrika, tanpa ditawar separuh harga. "Daunnya gratis boleh dicoba, yang kami jual stek batang untuk bibit," jelas saya. "Berapa harganya?" tanya calon pembeli. "Sepuluh ribu," tandas saya. Langsung disambut calon pembeli "Lima ribu ya?" Ya udah deh, langsung dikasih aja. Mereka mau melunturkan kecintaan pada obat sintetis saja sudah merupakan revolusi mental.

Bukti ketidak-mampuan obat sinteteik untuk memberikan kesembuhan total yang sebenarnya adalah sangat nyata. Dokter selalu mengatakan bahwa diabetes tidak bisa diobati; kanker tidak bisa dilawan; alzheimer tidak ada obatnya. Ya jelas lah, wong pakai obat sintetis. Celetukkan macam begini sangat diharapkan di suatu hari nanti. Harapan saya akan lahir kesadaran bahwa obat sintetis itu bersifat merusak, dan jikalau ada efek pengobatannya, itu pun diwujudkan dengan cara merusak. Seperti obat penghilang rasa sakit yang digandrungi masyarakat yang bisa dibeli di warung. Penyakitnya sih diabaikan, tetapi karena mekanisme sistem peringatan rasa sakit yang terjadi, bisa disiasati, maka orang bisa percaya bahwa sakitnya telah berlalu. Wajar sih, jika masalah dapat hilang dengan cara diabaikan, kenikmatan yang mana lagi yang dicari?

Ramainya isu beras sintetis memupuk harapan saya bahwa masyarakat masih bisa segera disadarkan untuk juga mencintai keaslian obat tumbuhan. Jika beras sintetis ditolak, obat sintetis suatu hari nanti juga akan dikesampingkan. Dibalik, pengobatan alami harus dikembalikan menjadi prosedur utama, sedangkan pengobatan medis hanyalah alternatif. Ngimpi, kali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun